Oleh: Khusnul Yaqin*
Di dalam sejarah kenabian, ada sebuah kisah sederhana namun sarat makna: seekor semut berlari kecil membawa setetes air menuju kobaran api yang membakar Nabi Ibrahim. Ketika ditanya mengapa ia berani melawan lautan api dengan hanya setetes air, semut itu menjawab, “Aku tahu tetes air ini tak akan memadamkan api. Tetapi dengan ini aku menunjukkan di pihak siapa aku berdiri.” Kisah ini bukan sekadar alegori moral, melainkan fondasi etika gerakan rakyat. Seekor makhluk kecil tanpa daya berani menentang sistem penindasan dengan kontribusi sederhana namun penuh kesadaran. Semut itu adalah simbol rakyat kecil: lemah secara individu, tetapi kuat ketika sadar akan posisinya, organisasinya, dan keberpihakannya.
Nabi Ibrahim ‘alaihi al-salām dalam Al-Qur’an digambarkan sebagai Nabi Ulul Azmi, sosok dengan kesabaran dan kekuatan luar biasa. Saat diuji dengan berbagai cobaan besar, Allah menjadikannya imam bagi seluruh manusia. Namun Ibrahim tidak berhenti di situ; beliau memohon agar anak cucunya juga menjadi penerus kepemimpinan ilahi. Al-Qur’an menegaskan: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat, lalu Ibrahim menunaikannya. Allah berfirman: ‘Sesungguhnya Aku akan menjadikanmu imam bagi seluruh manusia.’ Ibrahim berkata: ‘(Dan saya mohon juga) dari anak cucuku.’ Allah berfirman: ‘Janji-Ku ini tidak berlaku bagi orang-orang yang zalim.’” (QS. Al-Baqarah: 124). Dari ayat ini jelas bahwa kepemimpinan (imamah) bukanlah hak turun-temurun tanpa syarat, melainkan amanah yang hanya diberikan kepada anak cucu Ibrahim yang tidak pernah sedikitpun berbuat zalim.
Anak cucu Ibrahim yang dimaksud adalah mereka yang disebut Al-Qur’an sebagai al-abrar, orang-orang saleh yang dijanjikan akan mewarisi bumi. Allah berfirman: “Dan sungguh Kami telah tulis dalam Zabur setelah (Kami tulis dalam) Lauhul Mahfuzh, bahwa bumi ini akan diwarisi oleh hamba-hamba-Ku yang saleh (al-ṣāliḥūn).” (QS. Al-Anbiyā’: 105). Ayat ini menjadi garis besar politik ilahi: kekuasaan dunia pada akhirnya bukan untuk para penindas, melainkan untuk orang-orang saleh yang setia menjaga keadilan. Bahkan setiap nabi yang datang setelah Ibrahim memiliki satu kerinduan yang sama, yaitu menjadi bagian dari golongan orang-orang saleh itu. Nabi Yusuf berdoa: “Wafatkanlah aku dalam keadaan Muslim dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh.” (QS. Yusuf: 101). Nabi Sulaiman berdoa: “Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh.” (QS. An-Naml: 19). Nabi Ibrahim sendiri pun memohon: “Dan jadikanlah aku termasuk golongan orang-orang yang saleh.” (QS. Asy-Syu‘arā’: 83). Dengan demikian, kenabian bukan hanya soal risalah, melainkan juga keterhubungan dengan komunitas abrar yang menjadi tulang punggung setiap zaman.
Orang-orang Saleh itu dikomentaai oleh Pancasila dalam sila ke empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat. Jadi Pancasila menegaskan bahwa Rakyat Indonesia mesti dipimpin oleh orang-orang Saleh dan derivatnya agar menuju sila terkahir (keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
Sejarah politik dunia menunjukkan bahwa setiap rezim tiran pasti berhadapan dengan “organisasi rahasia” orang-orang saleh—jaringan moral yang menjaga nilai kebenaran. Di masa Fir’aun, ada keluarga Musa yang sembunyi-sembunyi menyembah Allah. Di masa Bani Israil, ada al-hawariyyūn, para pengikut setia Isa. Di masa Rasulullah, ada kelompok kecil sahabat yang mengawal gerakan Islam dari Darul Arqam. Mereka bukan mafia kekuasaan, melainkan komunitas kecil yang teguh menjaga prinsip keadilan. Tidak selalu besar jumlahnya, tetapi terkoordinasi, teguh, dan konsisten.

Ilustrasi seekor semut membawa air. Saat Raja Namrud membakar Nabi Ibrahim, seekor semut kecil merasa iba melihatnya. Dengan tekad baja, ia mengambil setetes air menggunakan rahangnya dan berjalan menuju kobaran api. Meskipun teman-temannya mengejek karena tindakannya tidak akan memadamkan api yang begitu besar, semut itu tidak menyerah. Ia percaya bahwa apa yang dilakukannya adalah wujud keberpihakan dan keyakinannya kepada Allah. Meski tak mampu memadamkan api, ia telah melakukan yang terbaik sebagai tanda kesetiaan dan cintanya kepada Nabi Ibrahim.
Metafora semut yang membawa setetes air mengajarkan prinsip penting bagi gerakan rakyat. Pertama, kesadaran posisi. Semut tahu dirinya kecil, tetapi ia memilih posisi dengan tegas. Begitu pula rakyat harus punya kesadaran politik: berpihak pada siapa, menolak kezaliman yang mana, serta memperjuangkan keadilan dengan jelas tanpa ambigu. Kedua, organisasi kolektif. Seekor semut sendirian rapuh, tetapi koloni semut mampu mengalahkan binatang besar. Rakyat yang tercerai-berai hanya akan jadi korban, tetapi rakyat yang terorganisasi menjadi kekuatan politik yang tak terbendung. Ketiga, simbol perlawanan moral. Tetes air semut tidak memadamkan api, tetapi menjadi simbol keberanian moral. Begitu pula aksi-aksi kecil rakyat—demonstrasi, advokasi, solidaritas ekonomi—mungkin tak langsung mengubah sistem, tetapi ia menegaskan moralitas politik: rakyat ada di pihak kebenaran.
Gerakan semut menuju Ibrahim tidak sekadar romantisme spiritual, tetapi basis gerakan rakyat modern. Semut hari ini berarti rakyat yang sadar akan hak politik, budaya, dan ekonomi. Rakyat berhak memilih pemimpin yang adil, menolak oligarki, dan menuntut partisipasi penuh dalam pengambilan keputusan. Rakyat berhak mempertahankan identitas, bahasa, tradisi, serta ekspresi kebudayaan tanpa dikekang hegemoni pasar atau rezim. Rakyat juga berhak atas distribusi adil sumber daya, pekerjaan yang layak, dan sistem ekonomi yang tidak dieksploitasi oleh segelintir elite. Ketika kesadaran ini tumbuh, rakyat tidak lagi tercerai-berai, melainkan membentuk gerakan kolektif. Dari situlah tetes-tetes kecil berubah menjadi banjir besar yang mampu memadamkan api tirani.
Gerakan rakyat bukanlah anarki tanpa arah. Ia membutuhkan koordinasi dengan wakil-wakil orang saleh di setiap zaman—mereka yang berilmu, bermoral, dan teguh menjaga keadilan. Seperti Nabi Ibrahim yang memohon agar anak cucunya yang saleh menjadi imam, begitu pula rakyat membutuhkan kepemimpinan moral, bukan sekadar teknokrat atau politisi pragmatis. Wakil orang-orang saleh inilah yang memastikan gerakan rakyat tidak tergelincir menjadi kerusuhan tanpa nilai.
Kisah semut yang membawa air menuju api Ibrahim adalah blueprint bagi gerakan rakyat sepanjang zaman. Ia menegaskan bahwa keadilan adalah janji Allah bagi orang-orang saleh (QS. Al-Anbiyā’: 105), kezaliman tidak pernah bisa mewarisi kepemimpinan (QS. Al-Baqarah: 124), dan setiap nabi merindukan untuk bersama orang-orang saleh (QS. Yusuf: 101, QS. An-Naml: 19, QS. Asy-Syu‘arā’: 83). Dari semut kecil hingga rakyat besar, perlawanan selalu berawal dari kesadaran moral. Api tirani mungkin tampak membara, tetapi setetes air yang konsisten akan menjadi banjir ketika seluruh rakyat bergerak bersama. Maka, membangun gerakan semut membawa air menuju Ibrahim adalah tugas kita hari ini: mengorganisir rakyat, menumbuhkan kesadaran hak politik, budaya, dan ekonomi, serta berkoordinasi dengan wakil orang-orang saleh. Inilah jalan panjang menuju dunia yang dijanjikan Allah—dunia di mana bumi diwarisi oleh hamba-hamba-Nya yang saleh.
*Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin