Oleh: Yusran Darmawan*
Jika saja mahasiswa itu membaca buku berjudul Small Acts of Resistance, maka mereka akan menyadari bahwa perubahan itu tak selalu dicapai dengan demonstrasi. Tak selalu dengan cara berkelahi dengan polisi. Ada banyak taktik, strategi, dan metode untuk perubahan sosial.
Rezim bisa digetarkan dengan perlawanan-perlawanan kecil. Perlawanan bisa berkobar melalui gosip, bermain bola, berdandan seksi, hingga seks. Hah? Seks? Kok bisa?
***
PAGAR itu rubuh. Ribuan mahasiswa bersorak gembira. Di kantor Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tekad untuk melawan telah berkobar. Tak ada rasa gentar, biarpun polisi terlihat memegang pentungan dan gas air mata,
Aksi-aksi mahasiswa kian heroik. Tapi setelah itu terkesan melempem. Belum ada konsistensi antara aksi demi aksi aksi untuk perubahan sosial. Mahasiswa kita ibarat lempung yang mudah mengikuti agenda elite politik. Mereka rabun membaca mana hal substansi, mana yang cuma aksiden.
Selain itu, ada kesan kalau perlawanan hanya dilakukan melalui demonstrasi. Padahal, sejarah menunjukkan aksi-aksi perlawanan tak harus dilakukan melalui aksi heroik di jalan-jalan. Perubahan banyak dipicu oleh tindakan-tindakan kecil yang serupa rumput liar bisa merobohkan tembok kekuasaan
Mereka yang mengubah sejarah tak selalu para pahlawan, prajurit hebat, ataupun manusia dengan trah separuh dewa yang jatuh dari langit. Pemicunya adalah orang-orang biasa yang melakukan tindakan-tindakan kecil, yang lalu menggugah publik.
Di saat mahasiswa Indonesia sedang berdemonstrasi, seorang anak kecil berusia 15 tahun bernama Greta Thunberg berbicara di hadapan pemimpin dunia dengan kalimat yang menuding: "Kalian telah mencuri impian dan masa kecil saya dengan kata-kata kosong kalian."
Dia tak perlu teriak di jalan-jalan sembari menghadapi desingan peluru dan kabut gas air mata. Sebab dia tahu cara paling efektif untuk mengetuk kesadaran orang demi memberi tahu ada sesuatu yang keliru. Dia pandai memanfaatkan semua channel komunikasi untuk menyebarkan semua pesan-pesan politiknya.
Ada banyak hal-hal kecil di sekitar kita yang bisa menjadi inspirasi untuk menyatakan sikap pada rezim. Saatnya melakukan hal-hal kecil yang penuh daya ledak dan bisa menggetarkan orang lain.
Di negeri Paman Sam, gerakan emansipasi hak sipil dimulai dari perempuan bernama Rosa Parks yang menolak memberikan kursinya di bus pada tiga orang lelaki kulit putih. Aksi ini lalu berlanjut hingga memicu perlawanan.
Ada pula kisah Muhammad Ali. Di puncak kariernya, ia justru menolak wajib militer. Kalimatnya menghujam, “Mengapa pula saya disuruh memerangi Vietcong, sementara mereka tidak pernah mengatakan saya negro?”
Pernyataan itu membuat Ali disekap, dicabut gelarnya, dilarang mengikuti kejuaraan dunia. Selama tiga tahun, ia kehilangan hak untuk bertinju, justru di tengah-tengah masa keemasannya.
Aktor Richard Harris mengatakan,” Setiap petinju selalu berusaha dan bersedia menjual jiwanya demi gelar sebagai juara tinju. Apa yang Ali lakukan? Dia justru menemukan kembali jiwanya dengan melepaskan gelar juara dunia itu.”
Lihat pula, bagaimana perang saudara di Pantai Gading dihentikan oleh pesepakbola Didier Drogba. Dia meminta agar pertandingan bola dilakukan di tempat netral. Semua orang memilih berdamai demi merespon permintaan Drogba. Hingga akhirnya perdamaian menjadi kekal.