Pagi itu, di sudut ruang praktiknya di Rumah Sakit Pendidikan Universitas Hasanuddin, dr. Muhamad Harun Iskandar, SpPD-KP, menyambut kami dengan senyum ramah. Paru-parunya penuh udara segar, tampak siap menghadapi sesi wawancara yang panjang.
Pembahasan hari itu bukan tentang prestasi, melainkan tentang musuh lama yang masih bergentayangan: Tuberkulosis atau yang lebih dikenal dengan TBC.
Indonesia, negara dengan sumber daya alam yang melimpah, ironisnya juga menjadi ladang subur bagi penyebaran TBC.
Berdasarkan data terbaru, Indonesia menduduki posisi kedua di dunia dengan beban kasus TBC terbanyak.
Jumlahnya mencapai sekitar satu juta kasus baru setiap tahunnya, dengan angka kematian sekitar 130 ribu orang per tahun. Lebih mengerikan, sekitar 17 orang di Indonesia meninggal setiap jam karena penyakit ini.
“Padahal TBC bisa disembuhkan,” ujar dr. Harun tegas. “Asalkan pengobatannya dilakukan dengan teratur dan tidak terputus.”
Namun, seperti pengakuan dr. Harun, tantangan terbesar bukanlah soal pengobatan, melainkan kepatuhan pasien dalam mengikuti terapi hingga tuntas. Pengobatan TBC membutuhkan komitmen jangka panjang, setidaknya enam bulan, dengan konsumsi obat secara rutin setiap hari. Tidak sedikit pasien yang menyerah di tengah jalan karena merasa sudah sembuh sebelum waktunya atau tidak tahan dengan efek samping obat.
Resistensi Obat yang Mengintai
“Kasus TBC kebal obat semakin sering ditemukan. Kalau pasien tidak patuh atau berhenti di tengah jalan, kuman TBC akan menjadi kebal terhadap obat standar. Ini tantangan terbesar kita,” jelas dr. Harun.
Ketika resistensi obat terjadi, pengobatan menjadi lebih rumit dan panjang. Terapi yang biasanya selesai dalam enam bulan dapat memakan waktu sembilan hingga dua belas bulan, bahkan dengan tambahan suntikan rutin. Situasi ini jelas menjadi momok bagi mereka yang seharusnya sudah bisa bebas dari penyakit yang digambarkan oleh banyak orang sebagai penyakit kuno ini.
Namun, apakah TBC memang penyakit kuno? Jika dilihat dari riwayatnya, ya. Bukti keberadaannya bahkan ditemukan di mumi-mumi Mesir kuno serta relief di Candi Borobudur.
Namun, menjadi keliru jika menganggap penyakit ini telah berhasil ditaklukkan. Hingga hari ini, ancaman TBC masih menghantui dan cenderung meningkat.
“Anggapan bahwa TBC sudah tidak berbahaya atau sudah bisa sepenuhnya dikendalikan adalah keliru. Justru sekarang tantangannya makin besar dengan munculnya kasus-kasus yang kebal obat,” tambah dr. Harun.
Inovasi dan Tantangan Kolaborasi
Saat ini, Indonesia telah mencanangkan target bebas TBC pada tahun 2030. Namun, upaya tersebut jelas tidak mudah. dr. Harun menekankan bahwa pengobatan yang tepat membutuhkan kolaborasi berbagai pihak.
Pemerintah memang telah menyediakan pemeriksaan dahak gratis serta obat-obatan yang juga bisa diakses tanpa biaya. Namun, masalah kepatuhan tetap menjadi hambatan terbesar.