UNHAS.TV – Malam itu, 23 Agustus 2025, kabar duka menyebar cepat. Prof. Armid, Rektor Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari, menghembuskan napas terakhir setelah diduga terkena serangan jantung.
Padahal, pagi harinya ia masih berdiri gagah di lapangan kampus, memimpin upacara Dies Natalis ke-44 UHO, tersenyum di depan mahasiswa, lalu ikut jalan santai. Tak ada tanda-tanda sakit. Namun malam datang membawa berita kehilangan yang tak disangka.
Bagi civitas akademika UHO, ini adalah kepergian seorang pemimpin yang baru saja mereka percayai. Bagi kawan-kawannya di Makassar, ini adalah kehilangan seorang sahabat lama, anak pondokan yang pernah hidup sederhana di Tamalanrea.
Dari Warung Dian ke Ruang Kuliah
Armid menapaki dunia kampus pada 1994, ketika ia diterima di Jurusan Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Hasanuddin. Ia tinggal di pondokan sederhana tak jauh dari Warung Dian, warung makan yang menjadi semacam “kantin tak resmi” mahasiswa Tamalanrea.
Darwin Ismail, seniornya, masih mengingat sosok itu.“Dia angkatan 1994. Tinggalnya di pondokan dekat Warung Dian. Sederhana sekali. Waktu kuliah, dia lebih fokus di jurusan. Hari ini saya kaget dengar beritanya. Tidak ada tanda-tanda sakit. Berita ini mengagetkan,” ujarnya pelan.
Hari-hari Armid di pondokan penuh kesahajaan: dapur kecil untuk memasak mie instan, lampu belajar seadanya, halaman berdebu tempat mahasiswa bercakap hingga larut malam. Dari tempat sederhana itulah jejak panjangnya dimulai.
Tawa yang Tak Pernah Hilang
Wahyuddin Yunus, teman seangkatannya, mengenang Armid sebagai pribadi yang santai dan nyentrik.
“Kalau pergi kemping, dia selalu senang. Pernah ke Tanjung Bayam bareng. Dia suka main gitar, menyanyi, dan dalam obrolan lebih banyak ketawa,” kenangnya.
Armid bukanlah mahasiswa yang sibuk mengejar jabatan di organisasi. Ia lebih akrab dengan lingkaran kecil sahabat-sahabatnya, hadir bukan dengan ambisi, melainkan dengan tawa.
“Kalau kumpul, dia selalu membawa kebahagiaan tersendiri. Banyak yang terhibur dengan kehadirannya,” tambah Wahyuddin.
Ia hidup seperti mahasiswa kebanyakan: belajar, bercanda, berkemah, bermain gitar. Tak seorang pun menyangka, di balik keseharian yang santai itu, ia menyimpan tekad untuk menapaki jalan akademik yang panjang.
Dari Pondokan ke Kursi Rektor
Kisah hidup Armid adalah bukti bahwa kesederhanaan tidak pernah membatasi mimpi. Setelah menamatkan S1 Kimia di Unhas (1999), ia melanjutkan studi S2 di Universitas Gadjah Mada, lalu menempuh S2 lagi di University of the Ryukyus, Jepang.