
Prof Armid (kanan atas) bersama rekan seangkatan di Jurusan Kimia, FMIPA, Unhas
Di kampus itu pula ia menyelesaikan studi doktoralnya (2008–2011), dengan fokus pada kimia kelautan.
Sejak tahun 2000 ia mengabdi sebagai dosen di UHO. Langkahnya pelan tapi pasti: menjabat Wakil Rektor IV Bidang Perencanaan dan Kerja Sama (2017–2025), dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Kimia Kelautan pada 2023.
Hingga akhirnya, Juni 2025, ia mengikuti pemilihan rektor. Suasana senat kala itu menegangkan: 74 suara diperebutkan, dan hasil akhir memperlihatkan dramatisnya perjalanan hidup Armid.
Dia terpilih hanya dengan selisih satu suara dari pesaing terdekatnya. Sebuah kemenangan tipis yang kemudian mengantarkannya pada pelantikan 1 Agustus 2025 sebagai Rektor UHO.
Namun takdir hanya memberinya waktu 22 hari untuk duduk di kursi itu.
Kenangan dan Sunyi yang Tersisa
Bagi kawan-kawannya, kabar kematian itu terasa getir. Sosok yang dulu nyentrik dan penuh tawa justru pergi ketika kariernya baru mencapai puncak.
“Saya agak kaget dia memilih jalan struktural kampus. jauh dari bayangan saya,” kata Wahyuddin. “Dulu tipikalnya santai, tapi ternyata prestasinya luar biasa. Dia jadi rektor, dan kita semua bangga. Tapi sekaligus kehilangan.”
Darwin menambahkan, “Yang saya ingat, dia anak pondokan yang hangat. Tidak ada kesan ambisi besar, tapi ternyata dia bisa sampai sejauh itu.”
Sabtu pagi, beberapa jam sebelum ajal menjemput, ia berdiri di lapangan kampus. Dalam perayaan Dies Natalis ke-44 UHO, ia menggunting pita dan melepas balon-balon warna-warni ke udara. Saat balon itu melayang, suaranya terdengar lantang: “Terbanglah ke angkasa!”
Beberapa jam kemudian, ia sendiri pergi, seperti balon yang terlepas dari genggaman. Membawa mimpi, meninggalkan kenangan. Sejak malam itu, langit Kendari terasa lebih sepi.
Dan di Tamalanrea, tempat ia dulu meniti jejak, pondokan sederhana itu mungkin sudah berubah, Warung Dian pun tak seramai dulu. Namun bagi sahabat-sahabatnya, kenangan itu tetap hidup: Armid dengan gitarnya, Armid dengan tawanya, Armid yang sederhana.
Ia pergi sebagai rektor. Tetapi di hati kawan-kawannya, ia akan selalu dikenang sebagai Armid, anak pondokan Tamalanrea yang terlalu cepat pulang.