Oleh: Andi Iqbal Burhanuddin*
Barangsiapa
menguasai lautan, akan menguasai dunia, adalah sebuah konsep dan teory
pemahaman kekuatan yang pertama kali muncul di akhir abad 19 oleh Raer Admiral
Alfred Thayer, seorang ahli maritim Amerika Serikat dalam bukunya The
Influence of Sea Power Upon History 1660-1753.
Buku tersebut terbit pada tahun 1890, menyebutkan betapa pentingnya peran laut sebagai aspek kekuatan dan sangat penting bagi kejayaan suatu bangsa. Sebaliknya bila kekuatan-kekuatan di laut kurang diberdayakan, akan berakibat sangat merugikan bahkan dapat meruntuhkan bangsa tersebut.

Pagar laut sepanjang 30 KM di Kabupaten Tangeran, Banten. (Foto: Tribun News)
Pekan terakhir
ini media sedang ramai memberitakan tentang barisan bambu setinggi enam
meter sepanjang 30-an kilometer di
pesisir Tangerang, Banten. Pagar laut
yang berjarak sekitar 500 meter dari bibir pantai tersebut kini mejadi
misterius siapa gerangan pemiliknya, apa fungsi dan apa dampak terhadap
lingkungan dan bagi masyarakat
sekitar.
Anehnya
lagi karena pemerintah setempat pun
mengaku tak tahu siapa dalang di balik pemasangan pagar laut tersebut. Padahal berdasarkan peraturan dan
undang-undang, pembangunan wilayah pesisir seharusnya mengikuti
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pemerintah daerah. Pengawasan wilayah
pesisir, dan sumberdaya kelautan,
termasuk ruang laut hingga 12 mil adalah menjadi tanggung jawab
pemerintah daerah.
Laporan
Ombudsman Republik Indonesia (ORI)
menyebut angka kerugian nelayan dalam tiga bulan terakhir akibat
kehadiran pagar laut ditaksir mencapai Rp 9 miliar. Bahkan sebuah analisa pakar
kebijakan public dari UPN veteran Jakarta merinci berdasarkan analisa biaya dan
manfaat (cost-benefit analysis) imbas
keberadaan pagar laut illegal yang menghalangi ruang gerak nelayan melaut
dengan pembengkakan biaya oprasional
ditaksir kerugian sebesar 116,91 milyar per tahun (Tempo,
16/1/2025).
Selain kerugian
ekonomi dengan keberadaan pagar laut yang diduga awalnya untuk penahan abrasi,
namun juga minimbulkan dampak social yakni menyulut konflik kepentingan antara
publik dan privat, mengancam keseimbangan ekologi serta kehidupan masyarakat
pesisir yang sangat bergantung pada sumber daya laut.
Secara ekologi, laut adalah elemen penyeimbang yang
menyediakan habitat penting bagi berbagai spesies laut. Konstruksi pagar bambu akan mengganggu
habitat alami berbagai biota laut, termasuk ikan, udang dan kerang kerangan
serta menimbulkan ketidakseimbangan lingkungan jangka panjang.
Dampak
lingkungan misalnya sedimentasi yang ditimbulkan oleh pasir timbunan pada pagar
laut adalah peningkatan kekeruhan atau gangguan habitat yang dapat
mengakibatkan penurunan biodiversitas organisme laut, seperti kematian terumbu
karang dan terganggunya kehidupan organisme laut lainnya.
Polemik pagar laut tidak boleh dibiarkan
begitu saja. Pihak kementerian
lingkungan hidup perlu segera mengkaji lebih lanjut dampak lingkungan yang
ditimbulkan oleh proyek misterius itu.
Pemerintah juga harus segera bertindak dan
memberikan langkah tegas dan tindakan hukum bagi pelaku jika ditemukan
kerusakan lingkungan di atas ambang batas akibat proyek pagar laut tersebut
sehingga ke depan diharapkan pengelolaan ruang laut dapat lebih baik,
berkelanjutan dan bebas dari pelanggaran yang merugikan ekosistem maupun
masyarakat pesisir.
Semua pihak harus bersinergi dan melakukan
pengawasan regulasi untuk memastikan
bahwa setiap kebijakan
pembangunan pesisir harus ada izin
dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) dan menjamin keadilan akses pemanfaatan sumber daya alam, tidak merugikan rakyat kecil dan menjamin
tatakelola lingkungan yang berkelanjutan.
Bandung,
18 Januari 2025
*Penulis,
Guru Besar Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin