Lingkungan

Pangan dan Kesehatan Kita Terancam oleh Mikroplastik di Laut

MAKASSAR, UNHAS TV – Pencemaran laut oleh sampah plastik kini menjadi salah satu masalah lingkungan paling serius di dunia, termasuk di Indonesia yang dikenal sebagai negara penghasil sampah plastik terbesar kedua. 

Di balik luasnya perairan Nusantara, terdapat ancaman tersembunyi berupa mikroplastik yang tak hanya merusak ekosistem laut, tetapi juga berpotensi membahayakan kesehatan manusia.

Hal ini diungkapkan oleh Dr Ir Shinta Werorilangi MSc, Ketua Marine Plastic Research Group (MPRG) Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin (FIKP Unhas). 

Menurutnya, penelitian tentang mikroplastik sudah dilakukan sejak 2014, diawali dengan kolaborasi peneliti Amerika Serikat bersama Unhas yang menemukan kandungan mikroplastik pada ikan-ikan hasil tangkapan nelayan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Paotere, Makassar.

"Penelitian itu sempat dipublikasikan secara internasional dan menempatkan Indonesia sebagai negara penghasil sampah plastik nomor dua di dunia. Dari situlah, pemerintah mulai menyadari persoalan serius ini," jelas Dr Shinta.

Sejak saat itu, Prof Akbar Tahir (alm.) bersama para peneliti FIKP Unhas mendirikan MPRG pada 2019 sebagai wadah riset tentang pencemaran plastik laut. Kelompok ini kemudian berkembang menjadi Thematic Research Group (TRG) pada 2025, dengan tujuan memperkuat kolaborasi riset lintas disiplin dan memperluas dampaknya ke masyarakat.

Dr Shinta menjelaskan bahwa mikroplastik mengandung zat adiktif berbahaya, seperti bifenol, polibrominasi difenil eter (PBDE), karsinogen, hingga neurotoksin. Zat-zat ini dapat menempel di permukaan laut, termakan biota, dan akhirnya berpindah ke manusia melalui rantai makanan.

"Mikroplastik ibarat cocktail of pollutants. Sayangnya, biota yang terkontaminasi tidak menunjukkan ciri fisik khusus, sehingga kita sulit membedakannya. Yang bisa kita lakukan adalah menghindari mengonsumsi bagian isi perut hewan laut," ujarnya.

MPRG menemukan bahwa perairan di Sulawesi Selatan sudah terkontaminasi mikroplastik, meski belum sampai tahap tercemar yang berarti menimbulkan dampak langsung terhadap biota. Meski begitu, kondisi ini tetap harus diwaspadai.

Dalam beberapa tahun terakhir, MPRG menjalankan proyek riset di Kabupaten Maros, Bone, dan Pangkep untuk memantau jenis dan jumlah sampah plastik yang masuk ke laut. 

Selain itu, MPRG juga melahirkan berbagai inovasi, seperti teknologi Trash Trap (perangkap sampah) di sungai yang bermuara ke laut, serta program konservasi penyu melalui transplantasi lamun dan terumbu karang di Kepulauan Balabalagan.

Tak hanya riset, edukasi masyarakat juga menjadi fokus utama MPRG. Melalui KKN tematik dan pendampingan desa, kelompok ini mendorong pola pikir baru dalam pengelolaan sampah.

"Sekarang bukan lagi lihat sampah lalu buang. Tapi lihat sampah, ambil, lalu kelola. Itu akan mengurangi potensi mikroplastik di laut. Pengelolaan berbasis masyarakat sangat penting, karena mayoritas sampah plastik yang sampai ke laut berasal dari rumah tangga," tegas Dr Shinta.

MPRG berharap kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat dapat memperkuat upaya mitigasi. Pemerintah sendiri menargetkan pengurangan sampah plastik hingga 70 persen pada 2025.

"Kami berharap, lewat penelitian dan keterlibatan masyarakat, dampak pencemaran mikroplastik bisa dikurangi. Laut adalah sumber pangan kita, sehingga menjaga kebersihannya berarti menjaga kesehatan generasi mendatang," pungkas Dr Shinta.(*)

Andi Putri Najwah (Unhas TV)