BURKINA FASO, UNHAS.TV- Di tengah bayang-bayang debu dan bara revolusi di jantung Afrika Barat, sebuah pesan tajam dan tak lazim disampaikan dari pemimpin muda Burkina Faso, Presiden Ibrahim Traoré, kepada pemimpin tertinggi Gereja Katolik, Paus Leo XIV. Bukan melalui jalur diplomatik formal atau pidato resmi di forum internasional, melainkan lewat sebuah video berdurasi 18 menit yang diunggah oleh kanal YouTube Pan-African Dreams pada 9 Mei 2025—video yang hingga kini telah ditonton lebih dari setengah juta kali dan menjadi bahan diskusi luas di berbagai kalangan.
Traoré membuka suratnya dengan satu pernyataan tegas: “Saya menulis bukan dari istana, melainkan dari tanah air saya sendiri—tempat debu bercampur darah para syuhada dan gema revolusi lebih nyaring dari dengung drone asing.” Dari kalimat pembuka saja, jelas bahwa ini bukan sekadar pesan sambutan kepada pemimpin baru Vatikan. Ini adalah seruan moral dan sejarah dari benua yang selama ini merasa disisihkan, dikhianati, dan diperalat.
Sebagai putra Afrika dan kepala negara yang lahir dari pergolakan, Traoré menyampaikan kekecewaan mendalam atas peran historis Gereja dalam kolonialisme, dan bahkan lebih dari itu, ia menyoroti sikap diam institusi suci itu terhadap berbagai krisis modern yang terus menimpa Afrika. “Kami tahu doa dan litani. Kami membangun gereja dengan tangan yang kapalan. Namun kami juga tahu, pada banyak masa, gereja berjalan seiring dengan para penjajah,” ujarnya lantang.
Pertanyaan paling menyengat dalam surat itu: “Akankah masa kepausan Anda berbeda?” Dengan menantang, Traoré meminta agar Paus Leo XIV melihat Afrika bukan sebagai pinggiran yang penuh luka, tetapi sebagai pusat profetik dunia yang patut didengar. Ia mendesak agar Vatikan tidak lagi menutupi ketidakadilan global dengan bahasa netral dan diplomasi steril. “Kami tidak butuh lebih banyak ‘thoughts and prayers’ saat tambang emas di Kongo dijaga dengan senjata, atau pemuda Afrika tenggelam di Mediterania,” ujarnya dalam nada getir.
Surat ini bukan sekadar kritik terhadap Gereja Katolik. Ia adalah cermin bagi seluruh dunia: dari IMF hingga perusahaan tambang, dari politik senjata hingga lembaga-lembaga kemanusiaan yang membungkus imperialisme dalam selimut belas kasih. Bahkan, ia menyerukan kepada Paus untuk menyebut “Herodes modern” yang merampas masa depan Afrika dengan diam-diam.
Traoré menutup pesannya dengan nada profetik yang menggetarkan, “Afrika tidak lagi menunggu. Kami sedang bangkit, berdarah, dan menulis ulang sejarah kami. Kami tidak meminta belas kasihan—kami menuntut keadilan.”
Dengan keberaniannya, Presiden Traoré telah menjungkirbalikkan protokol, menyuarakan luka yang terpendam lama, dan sekaligus membuka ruang refleksi mendalam tentang posisi Gereja dan dunia terhadap Afrika hari ini. Pertanyaannya kini bukan hanya untuk Paus Leo XIV, tetapi untuk semua pemimpin moral dunia: akankah mereka bersuara ketika kebenaran membutuhkan keberanian?
Untuk mengetahui pesan lengkap Presiden Traoré kepada Paus Leo XIV, ikuti link video youtube berikut: