Lingkungan
News

Prabowo Percepat Penanganan Sampah Nasional, Akademisi Dorong Penyelesaian di Hulu

MAKASSAR, UNHAS.TV - Presiden Prabowo Subianto menaruh perhatian serius pada masalah sampah nasional. Dalam rapat terbatas awal pekan ini, ia meminta kementerian terkait mempercepat langkah pengelolaan, khususnya di kota-kota besar yang setiap hari menghasilkan volume sampah dalam jumlah besar.

Pemerintah memasukkan agenda percepatan itu dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029.

Salah satu fokusnya adalah penerapan teknologi waste-to-energy (WTE) dan refuse derived fuel (RDF) sebagai solusi hilir. Pemerintah juga menyiapkan strategi terpadu hulu-hilir melalui kolaborasi antar pemerintah daerah dan sektor swasta.

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2023 mencatat timbulan sampah nasional mencapai 69,7–69,9 juta ton. Dari jumlah itu, sekitar 11,3 juta ton tidak terkelola dengan baik.

Laporan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyebutkan sampah tersebut berakhir di open dumping atau tak masuk dalam sistem pengelolaan modern.

Kondisi itu membuat percepatan pengelolaan sampah mendesak dilakukan. Namun langkah pemerintah mendapat catatan kritis dari kalangan akademisi.

Saharuddin Ridwan, mahasiswa program doktoral Ilmu Lingkungan Universitas Hasanuddin, menilai kebijakan percepatan tak boleh berhenti pada aspek teknis di Tempat Pembuangan Akhir (TPA).

“Persoalan utama sebetulnya harus diselesaikan di hulu dulu, bukan hanya di hilir. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 sudah jelas menyebutkan, yang boleh masuk ke TPA itu hanyalah residu,” ujar Saharuddin saat dimintai tanggapan, Selasa (2/9/2025).

Menurut dia, pengelolaan utama harus dilakukan sejak dari sumber utamanya, yakni rumah tangga dan aktivitas sejenis rumah tangga.

Saharuddin menambahkan, penanganan sampah nasional tidak cukup mengandalkan teknologi pengolahan. Kebijakan percepatan perlu diiringi regulasi yang kuat, integrasi antar lembaga, serta menjadikan sampah sebagai sumber ekonomi baru.

“Kebijakan harus menyentuh regulasi, pembiayaan yang berkelanjutan, kelembagaan yang jelas, pemberdayaan masyarakat agar terbiasa memilah sampah, dan penerapan teknologi yang konsisten,” katanya.

Tanpa memperhatikan lima aspek utama itu yakni regulasi, pembiayaan, kelembagaan, pemberdayaan, dan teknologi, Saharuddin pesimistis target pemerintah akan tercapai.

Dalam RPJMN 2025–2029, pemerintah menargetkan pengurangan sampah 30 persen dan penanganan 70 persen pada 2029. “Target ini akan sulit diwujudkan jika hanya berfokus di hilir,” ia menegaskan.

Menurut dia, sampah seharusnya dipandang sebagai peluang ekonomi. Pemanfaatan kembali plastik, pengembangan energi dari sampah, hingga model bisnis sirkular bisa memberi nilai tambah bagi masyarakat. Selain itu, kesadaran masyarakat dalam memilah sampah di rumah menjadi kunci.

“Kalau kebijakan hanya reaktif, hasilnya tidak berkelanjutan. Yang dibutuhkan adalah sistem pengelolaan menyeluruh, berkesinambungan, dan berdampak langsung bagi masyarakat serta lingkungan,” ujar Saharuddin, Direktur Perusda Kabupaten Maros ini.

Sorotan dari kalangan akademisi ini menegaskan bahwa kebijakan percepatan penanganan sampah perlu lebih dari sekadar proyek teknologi. Ia harus hadir sebagai sistem yang menyatukan kebijakan, masyarakat, dan industri agar persoalan lama tidak berulang. 

(Rahmatia Ardi / Unhas.TV)