
Dosen Psikologi Unhas Dwiana Fajriati Dewi SPsi MSc. (dok unhas.tv)
Menggunakan istilah “malas” untuk pekerja yang quiet quitting dianggap kurang tepat. Diana lebih suka menyebutnya “unmotivated”. Dalam psikologi organisasi, karyawan bisa tidak termotivasi karena dua hal: kurang kompeten atau merasa tidak adil.
Ia menjelaskan, “Ada teori keadilan (equity theory). Karyawan akan membandingkan usaha dan hasil yang diperoleh.
Kalau merasa usahanya tidak sebanding dengan penghargaan yang diterima, atau dibandingkan dengan rekan kerja yang lebih santai tapi mendapat hasil sama, motivasi mereka menurun.”
Menariknya, fenomena ini tidak hanya terjadi pada bawahan. Ketika atasan menerapkan quiet quitting, dampaknya bisa menular ke seluruh tim. “Atasan adalah role model. Kalau dia tidak berusaha lebih, karyawan pun akan mengikuti,” ujar Diana.
Salah satu alasan utama pekerja memilih quiet quitting adalah untuk menghindari burnout. Burnout merupakan kondisi kelelahan fisik dan mental akibat tuntutan kerja berlebihan tanpa dukungan yang memadai.
“Quiet quitting bisa menjadi mekanisme bertahan agar tidak jatuh ke burnout. Dengan menahan diri dari tuntutan berlebihan, pekerja bisa menjaga keseimbangan diri,” kata Diana.
Namun, ada sisi lain yang perlu diwaspadai. Ketika seseorang terlalu membatasi diri, peluang untuk mengembangkan diri bisa berkurang.
“Setiap pekerjaan adalah kesempatan belajar. Kalau terlalu pasif, kita bisa kehilangan kesempatan promosi atau pengembangan karier,” tambahnya.
Aspek Mencegah Quiet Quitting
Dwiana menyebut empat aspek penting yang harus diperhatikan perusahaan agar karyawan tetap termotivasi:
Fast Significance – memberikan penghargaan dan pengakuan yang cepat atas pencapaian karyawan. Autonomy – memberi ruang bagi karyawan untuk mengatur cara kerjanya sendiri.
Feedback – memberikan umpan balik yang membangun, bukan sekadar kritik. Coworker Support – membangun budaya kerja yang saling mendukung antarpegawai.
Jika keempat aspek ini terpenuhi, kemungkinan karyawan memilih quiet quitting akan menurun.
Banyak perusahaan masih memegang budaya lama yang menuntut kerja tanpa batas, sehingga melihat quiet quitting sebagai kemalasan. Padahal, menurut Diana, kondisi kerja saat ini berbeda dengan era sebelumnya.
“Dulu tuntutan kerja tidak seberat sekarang. Digitalisasi membuat pekerja harus siap 24 jam. Jadi wajar kalau mereka mencari cara untuk bertahan,” ujarnya.
Dwi menjelaskan, burnout ditandai dengan kelelahan fisik, emosional, hingga gejala menyerupai depresi. Sementara boundaries adalah batas sehat yang ditetapkan pekerja tanpa gejala psikologis berat. “Membatasi diri itu sehat, selama tidak menghambat pengembangan diri,” jelasnya.
Boundaries justru bisa melindungi pekerja dari burnout. Namun, terlalu banyak membatasi diri juga dapat menahan kesempatan berkembang.
Kunci Menghindari Quiet Quitting
>> Baca Selanjutnya