News

Raih Gelar Doktor, Disertasi Irwan Ade Saputra Ungkap Birokrasi Jadi Mesin Regenerasi Kekuasaan





Sidang Promosi Doktor Irwan Ade Saputra. (dok unhas.tv)


Hasil penelitian Irwan terbagi dalam tiga rumusan masalah. Pertama, peran camat dan lurah dalam mendukung kemenangan politik. Ia menemukan bahwa camat dan lurah dijadikan ujung tombak mobilisasi elektoral.

Penempatan mereka mempertimbangkan keseimbangan keluarga kerajaan-nonkerajaan, dataran tinggi-rendah, serta loyalitas.

“Camat dan lurah tidak hanya menjalankan fungsi administratif, tetapi juga menjadi broker politik dan agen konsolidasi konflik di akar rumput,” papar Irwan.

Kedua, peran kepala dinas. Menurut temuan Irwan, kepala dinas berfungsi sebagai medium komunikasi politik, penguatan kharisma pemimpin, sekaligus distribusi program berbasis elektoral. Kepala dinas memastikan bahwa program pembangunan selaras dengan basis dukungan politik.

Ketiga, model birokrasi politik yang diterapkan Adnan. Ia menyebutnya sebagai model hibrida: birokrasi dijadikan instrumen integrasi politik, representasi kultural, sekaligus alat patronase. “Birokrasi tidak dihapus, tapi diisi dengan nilai dan aktor baru yang memperkuat kekuasaan,” ujar Irwan.

Disertasi Irwan tak hanya menjelaskan, tapi juga mengkritisi paradoks netralitas birokrasi. Secara formal, ASN dituntut netral. Namun secara empiris, birokrasi justru terlibat dalam konsolidasi kekuasaan. “Ini bukan sekadar pelanggaran netralitas, tapi bagian dari realitas politik lokal yang telah terlembaga,” katanya.

Temuan kebaruan penelitian ini adalah pembacaan bahwa birokrasi di Gowa berfungsi sebagai medium regenerasi kekuasaan dinasti, namun sekaligus melahirkan kepemimpinan yang mandiri.

Di periode terakhir, kata Irwan Ade, Adnan mampu berdiri tegak tanpa lagi bergantung penuh pada patron keluarga Yasin Limpo, menjadikannya sebagai pemimpin mandiri dengan dukungan birokrasi yang solid.

Sidang yang Tegang dan Mengharukan

Sidang terbuka berlangsung lebih dari tiga jam. Para penguji memberi catatan kritis, mulai dari metodologi, penggunaan teori, hingga kedalaman analisis.

Prof. Murtir Jedawi, misalnya, menyoroti relevansi teori patronase dengan temuan lapangan. Sementara Prof. Gustiana menanyakan soal keterbatasan penelitian, terutama minimnya akses pada dokumen politik internal.

Irwan menjawab dengan tenang. Sesekali ia tersenyum, tapi raut wajah serius tetap tampak. “Penelitian ini memang rawan subjektivitas, tapi kami memastikan validitas data melalui triangulasi dan verifikasi berulang,” ujarnya.

Tepuk tangan riuh terdengar ketika Ketua Sidang mengumumkan hasil: Irwan Ade Saputra dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan dan resmi menyandang gelar Doktor Ilmu Politik dari Universitas Hasanuddin. Istrinya, Yesi Yohana, tampak berkaca-kaca. Dua putrinya yang hadir berlari memeluk ayah mereka.

Dalam penutup presentasi, Irwan menyebut penelitian ini memberi dua kontribusi utama. Secara akademis, disertasi ini memperkaya studi politik lokal di Indonesia, khususnya tentang relasi birokrasi dan kekuasaan.

Secara praktis, ia berharap kajian ini menjadi refleksi bagi kepala daerah dan birokrat dalam memahami dinamika loyalitas, patronase, dan netralitas.

“Birokrasi bisa menjadi mesin regenerasi kekuasaan, tapi di sisi lain berpotensi melemahkan prinsip meritokrasi. Ini paradoks yang harus diwaspadai,” kata Irwan.

Sidang berakhir, para hadirin menyalami sang doktor baru. Di luar aula, sejumlah mahasiswa dan kolega berfoto bersama. “Ini bukan hanya capaian pribadi, tapi juga kontribusi bagi ilmu politik Indonesia,” ujar Prof. Armin Arsad, promotor utama.

Bagi Irwan, gelar doktor hanyalah awal dari perjalanan panjang. Dari penyiar radio di Kendari, peneliti independen, hingga kini doktor ilmu politik, kisahnya menggambarkan lompatan sosial sekaligus dedikasi akademik.

“Saya ingin terus meneliti bagaimana birokrasi dan politik lokal bekerja, bukan untuk membela atau menuduh, tapi untuk memahami,” ujarnya, sebelum meninggalkan ruangan dengan senyum lega. (*)