News
Program
Unhas Speak Up

Redenominasi Rupiah, Ekonom Unhas Ingatkan Stabilitas Politik Jadi Kunci Utama

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, Prof Dr Abdul Hamid Habbe MSi, (dok unhas.tv)

UNHAS.TV - Wacana redenominasi rupiah kembali mencuat setelah Menteri Keuangan RI, Purbaya Yudhi Sadewa, mengangkat kembali rencana penyederhanaan nilai mata uang nasional.

Kebijakan ini sempat mengagetkan publik, terutama karena baru-baru ini pemerintah juga menggelontorkan dana Rp200 triliun ke bank-bank Himpunan Bank Milik Negara (Himbara).

Sederhananya, redenominasi akan memangkas tiga digit nol pada uang rupiah. Misalnya, Rp1.000 akan menjadi Rp1, Rp2.000 menjadi Rp2, dan seterusnya.

Meski tidak mengubah nilai riil uang, rencana ini memicu kecemasan masyarakat terkait potensi kenaikan harga barang atau melemahnya nilai tukar.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin, Prof Dr Abdul Hamid Habbe MSi, menjelaskan bahwa redenominasi berbeda jauh dari sanering, kebijakan yang memangkas nilai riil mata uang seperti yang pernah terjadi pada era 1960-an.

Menurut Prof Abdul Hamid, redenominasi adalah proses penyederhanaan nilai nominal mata uang tanpa memengaruhi daya beli masyarakat. Pemangkasan nol hanya mengubah tampilan angka, bukan nilai fundamentalnya.

“Nominalnya turun, tapi nilainya tidak. Yang dipangkas itu hanya angka, bukan daya beli,” jelasnya.

Ia menegaskan bahwa rupiah saat ini merupakan fiat money, uang kertas yang tidak lagi didukung cadangan emas, melainkan sepenuhnya bergantung pada kekuatan ekonomi suatu negara.

Berbeda dengan 51 negara lain yang melakukan redenominasi karena hiperinflasi atau kejatuhan nilai mata uang, kondisi Indonesia saat ini relatif stabil.

“Indonesia tidak mengalami hiperinflasi, nilai rupiah juga tidak terjun bebas. Jadi motivasinya bukan karena krisis,” kata Prof Abdul Hamid.

Ia menilai rencana ini lebih pada upaya meningkatkan kredibilitas Indonesia di mata global. Banyak masyarakat merasa rendah diri ketika melihat banyaknya digit rupiah saat ditukar ke dolar atau riyal.

Penyederhanaan ini, sebut Abdul Hamid dapat meningkatkan persepsi internasional terhadap mata uang nasional.

Lebih jauh, Prof Abdul Hamid mencontohkan dua negara yang memiliki rekam jejak berbeda dalam menerapkan redenominasi.

Turki Sukses, Zimbabwe Gagal

>> Baca Selanjutnya