Menurut Paul, penyerapan bahasa ibu para pelaut Makassar itu terjadi karena hubungan dagang yang terbangun antara keduanya. Demi hubungan dagang, kedua kelompok harus menyepakati bahasa komunikasi.
Bukan hanya Australia, jejak-jejak bahasa Makassar juga bisa ditemukan di Madagaskar (Afrika), hingga Cape Town. Semuanya menunjukkan adanya pertalian melalui aktivitas perdagangan
Ini semakin menguatkan tesis Denys Lombard dalam bukunya “Le carrefour javanais”atau “Nusa Jawa Silang Budaya” tentang globalisasi yang sejatinya sudah berlangsung di abad ke-10 hingga abad ke-13, di mana banyak orang melakukan lintas benua dan berinteraksi di berbagai pelabuhan, sehingga peradaban kian mekar.
Sayang sekali, catatan emas penyebaran bahasa Makassar itu tidak seberapa benderang di masa kini. Ketika Makassar teriterasi ke dalam NKRI, bahasa lokal kian menyempit.
Perannya kian terpinggir hingga ke komunitas yang masih mempertahannya. Kota-kota menjadi global dan seragam. Semua warga berbahasa Indonesia, lalu perlahan berbahasa Inggris. Anak-anak muda mulai jarang berbahasa lokal. Mereka tercerabut dfari akar kulturalnya sehingga menjadi generasi yang lupa identitas, lupa sejarah.
Namun, apakah kenyataan memang semiris itu? Sineas Riri Riza merasa optimis dengan situasi kekinian. Dia melihat banyak generasi baru yang mulai perlahan memgangkat kembali istilah-istilah lokal. Baginya, saat semua jadi global, maka saat itulah jangkar kebudayaan harus diperkuat.
Dia menyebut generasi baru perlahan mulai memasyarakatkan istilah lokal. Dia mencontohkan film lokal berjudul Ambo Nai.
“Film ini judulnya berani. Saya fidak tahu apa itu Ambo Nai. Tapi saya anggap memilih judul ini butuh keberanian. Ternyata isi filmnya juga hebat dan disukai banyak orang. Ada juga judul Uang Panai. Ini menunjukkan bahasa lokal mulai masuk ke budaya popular,” katanya.
>> Baca Selanjutnya