News

Saat Rektor Unhas Kalahkan Rektor UI, IPB, dan UGM

undefined

UNHAS.TV - Di antara deretan nama rektor perguruan tinggi Indonesia, Jamaluddin Jompa hari ini menjadi sosok yang banyak diperbincangkan. Dalam daftar H-index tertinggi yang dirilis AD Scientific Index, ia menempati posisi kedua secara nasional.

Angkanya, 41, bukan sekadar deretan digit, melainkan refleksi bahwa sedikitnya 41 karya ilmiahnya telah dikutip minimal 41 kali oleh peneliti lain di seluruh dunia.

BACA: Jejak Jamaluddin Jompa di Panggung Ilmuwan Dunia

Di balik angka itu ada puluhan tahun perjalanan: menelusuri pesisir dan pulau-pulau kecil, hidup di laboratorium, berdebat di ruang konferensi, dan menyusun kalimat demi kalimat penelitian yang kemudian menjadi rujukan ilmiah global. Jejak yang tidak mungkin dibangun dalam semalam.

Yang membuat daftar ini semakin mencolok bukan hanya posisi Prof. JJ, tetapi nama-nama lain yang berada di bawahnya. Rektor kampus-kampus besar seperti IPB, UI, dan UGM yang selama ini dianggap sebagai pusat kepemimpinan akademik nasional justru memiliki angka H-index lebih rendah.

Arif Satria dari IPB berada di angka 29. Heri Hermansyah dari UI di angka 28. Ova Emilia dari UGM di angka 25. Angka-angka ini tetap mencerminkan produktivitas ilmiah, namun pada saat yang sama menunjukkan bahwa kekuatan akademik tidak selalu berbanding lurus dengan kemapanan institusi.

Kadang, pusat gravitasi ilmu pengetahuan bergerak dari arah yang tidak disangka-sangka.

Makna H-index

Dalam dunia akademik, H-index bukan sekadar ukuran kuantitas publikasi, tetapi juga kualitas pengaruh ilmiah. Ia mencoba menangkap denyut kehidupan seorang ilmuwan di tengah jaringan pengetahuan global.



Dengan menggabungkan produktivitas dan dampak sitasi, H-index memperlihatkan seberapa “hidup” sebuah karya dalam percakapan ilmu pengetahuan dunia.

Artikel ilmiah hanyalah permulaan; nilai sejatinya baru terlihat ketika karya itu menjadi rujukan, memicu diskusi baru, menginspirasi metode baru, bahkan ikut memengaruhi kebijakan publik.

Sitasi adalah bentuk pengakuan kolektif bahwa sebuah gagasan tidak berhenti di meja penulisnya, tetapi bergerak menyeberangi batas negara dan disiplin ilmu.

Karena itulah H-index sering dipandang sebagai indikator kehadiran intelektual. Ia memperlihatkan seberapa banyak seorang ilmuwan diundang untuk “berbicara” dalam forum global, bukan melalui pidato, tetapi melalui kutipan yang terus mengalir dari satu publikasi ke publikasi lain.

Peneliti dengan H-index tinggi tidak hanya produktif, tetapi menjadi simpul penting dalam jaringan ide, hadir dalam pikiran banyak orang meski tidak berada di ruangan yang sama. Dalam ekosistem ilmiah yang padat dan kompetitif, H-index menjadi kompas untuk mengenali karya yang bertahan, membuka pintu, dan melampaui batas institusi.

Di sinilah letak pertanyaan yang menarik: mengapa seorang rektor dari Indonesia Timur justru mencatatkan H-index lebih tinggi dibanding para pemimpin universitas-universitas besar di Jawa? Jawabannya mungkin terletak pada cara ia memaknai jabatan itu sendiri.

Di banyak kampus besar, rektor kerap tenggelam dalam protokol, rapat, administrasi, dan ritus birokrasi yang tidak pernah berakhir. Suara akademik perlahan meredup.

Namun Prof. JJ memilih jalan berbeda. Ia tidak menempatkan riset sebagai masa lalu yang harus disingkirkan begitu seseorang memasuki ruang jabatan. Baginya, riset adalah nadi, denyut yang membuat kampus tetap hidup, seperti gelombang yang terus memberi ritme pada laut yang ia teliti sepanjang hidupnya.

Ia meneliti bukan karena tuntutan struktural, tetapi karena keyakinan bahwa universitas yang sehat hanya bisa tumbuh jika pemimpinnya sendiri merasakan getaran pencarian ilmiah.


>> Baca Selanjutnya