News

Saat Rektor Unhas Kalahkan Rektor UI, IPB, dan UGM




Ia sering mengingatkan bahwa ilmu pengetahuan tidak mengenal pangkat. Cara ia bekerja membuktikan kalimat itu. Ia tetap berada di laboratorium, tetap melakukan kerja lapangan, tetap berdiskusi dengan mahasiswa pascasarjana yang sedang meraba-raba temuan baru. Ia hadir bukan sebagai atasan, melainkan sebagai sesama peneliti yang masih haus pertanyaan. 

Rektor yang Terus Meneliti

Di sela agenda kepemimpinan yang padat, ia masih mencuri waktu membaca, menyelesaikan manuskrip, dan menjadi reviewer jurnal internasional, sesuatu yang jarang dilakukan rektor mana pun.

Karena itu, angka 41 pada H-index itu bukan sekadar prestasi pribadi. Ia menjadi legitimasi moral, sebuah otoritas yang lahir bukan dari jabatan, tetapi dari konsistensi intelektual.

Dengan angka itu, Prof. JJ dapat berbicara tentang pentingnya produktivitas ilmiah bukan sebagai slogan, melainkan sebagai teladan. Sebab ia sendiri melakukannya. Dan di dunia akademik, teladan semacam itu jauh lebih kuat daripada instruksi.

Dalam budaya kampus yang sering tersandera administrasi, kehadirannya sebagai rektor-peneliti memberi pesan yang gamblang: menulis adalah identitas, bukan beban. Publikasi adalah kontribusi, bukan tuntutan. Seorang akademisi tidak pernah berhenti belajar. Dan rektor yang meneliti adalah rektor yang menjaga nyala intelektual kampusnya.

Pencapaian tiga tahun terakhir memperkuat itu semua. Ketika banyak pemimpin perguruan tinggi larut dalam urusan akreditasi dan administrasi, Prof. JJ justru aktif menerbitkan artikel bereputasi, memimpin riset lintas negara, dan berbicara dalam forum global tentang pesisir dan perubahan iklim.

Di saat yang sama, ia membawa Unhas masuk QS Top 1000 dunia, meraih Juara Umum Pimnas 2024, dan memperluas jejaring riset global ke lebih dari 500 mitra internasional.

Ia menjadi paradoks sekaligus koreksi terhadap pola lama pendidikan tinggi kita. Bahwa rektor tidak harus berhenti menjadi ilmuwan. Bahwa keilmuan memberi kedalaman pada kepemimpinan.

Dan bahwa universitas tidak bisa dipimpin hanya oleh manajer administratif, tetapi oleh ilmuwan yang memahami nilai setiap sitasi, setiap pertanyaan penelitian, setiap metode yang berkembang.

Pesan dari Timur

Jika dilihat dari sudut itu, angka 41 itu mengandung pesan yang jelas: dari Timur, muncul seorang rektor yang tidak hanya memimpin kampus, tetapi tetap hidup di dalam ilmu pengetahuan. Ia menulis lalu memimpin.

Ia meneliti lalu berbicara. Ia tidak meninggalkan dunia akademik demi jabatan, tetapi justru menjadikannya fondasi kepemimpinan.

Universitas Hasanuddin kini bergerak dengan identitas baru. Bukan semata kampus besar di luar Jawa, tetapi laboratorium pengetahuan yang mulai diperhitungkan dunia. Dan di pucuknya berdiri seorang profesor laut yang tidak pernah meninggalkan samudra pengetahuan yang membesarkannya.

Selebihnya, sejarah mungkin akan mencatat bahwa di masa ketika banyak pemimpin perguruan tinggi berhenti meneliti, Jamaluddin Jompa memilih terus menulis. Dan barangkali di situlah letak keunggulannya yang paling sunyi, namun justru yang paling menentukan.