Kesehatan
Program

Saatnya Cek Diri, Medical Check Up dan Pentingnya Merawat Diri Sebelum Sakit




Kepala Instalasi MCU RS Unhas dr Firdaus SpKJ (dok unhas.tv)


Lebih jauh, dalam wawancara lanjutan dengan Unhas TV, dr Firdaus menjelaskan bagaimana perkembangan teknologi telah mempercepat dan mempermudah proses medical checkup.

Rumah Sakit Unhas, misalnya, telah menerapkan sistem digitalisasi data pemeriksaan melalui aplikasi UNHAS Sehat, yang memungkinkan peserta menerima hasil langsung secara digital.

“Kami juga menggunakan sistem teleradiologi, di mana dokter bisa membaca hasil USG atau rontgen dari mana saja,” jelasnya.

Namun, tantangan tak hanya bersumber dari teknis. Persepsi masyarakat masih menjadi penghalang terbesar. “Tak sedikit yang takut justru karena tidak mau tahu. Takut tahu dirinya sakit,” ujarnya.

Padahal, lanjut Firdaus, hasil pemeriksaan yang mengindikasikan risiko tidak berarti akhir dari segalanya. Justru dari situlah intervensi dini bisa dilakukan.

Ia menekankan bahwa menerima hasil medical checkup yang kurang baik adalah hal yang manusiawi. “Wajar kalau kaget, takut, bahkan menolak. Tapi penolakan yang berkepanjangan bisa menjadi masalah psikologis. Karena itu penting untuk belajar menerima dan segera berkonsultasi ke dokter,” katanya.

Bagaimana jika hasilnya menunjukkan risiko? Apakah langsung diberi obat? Tidak selalu. Menurut dr. Firdaus, sebagian besar penanganan awal pada kondisi risiko justru dimulai dari edukasi dan perubahan gaya hidup.

“Misalnya tekanan darah mulai tinggi, kita minta pasien mulai olahraga, atur pola makan, dan kurangi stres. Belum tentu langsung obat,” jelasnya.

Tak hanya itu, hasil medical checkup juga tidak selalu bersifat mutlak. Misalnya pada pemeriksaan tekanan darah, bisa saja hasil berbeda saat diperiksa di rumah dibanding di klinik. Karena itu, penting melakukan cross-check dan, bila perlu, mencari second opinion. “Boleh kok second opinion. Justru itu sehat,” kata Firdaus.

Khusus untuk generasi muda, Firdaus menyayangkan pola pikir yang merasa “masih sehat karena masih muda.” Padahal, tren penyakit metabolik seperti hipertensi dan diabetes kini banyak menyerang usia produktif.

“Dulu hipertensi itu muncul di usia 50-an. Sekarang, usia 30-an sudah banyak yang kena,” ujarnya. Gaya hidup yang minim aktivitas fisik, pola makan tinggi gula dan garam, begadang, serta stres jadi pemicunya.

Lalu, kapan sebaiknya mulai medical checkup? “Di atas usia 18 tahun sudah bisa. Cukup sekali setahun. Usia 40 sampai 65 tahun, dua kali setahun. Di atas itu, sebaiknya setiap enam bulan,” jawab Firdaus.

Penyakit-penyakit seperti kolesterol tinggi, prediabetes, hingga osteoporosis adalah contoh kondisi tanpa gejala yang bisa lebih cepat diketahui lewat medical checkup.

Agar hasil akurat, pasien disarankan berpuasa 10–12 jam sebelum pemeriksaan darah dan cukup tidur. “Yang penting datang dengan kondisi stabil. Jangan panik,” tambahnya.

Terakhir, Firdaus menekankan bahwa medical checkup bisa dilakukan di mana saja: puskesmas, klinik, atau rumah sakit—tergantung kebutuhan. “Yang penting rutin. Jangan nunggu sakit dulu.”

Menutup perbincangan, ia berpesan: “Medical checkup bukan soal mencari penyakit, tapi bentuk investasi kita terhadap kesehatan. Semakin cepat tahu, semakin ringan penanganannya.”

Mitos dan hoaks tentang medical checkup masih banyak beredar. Namun dengan edukasi dan kesadaran kolektif, perlahan masyarakat akan memahami bahwa sehat bukan hanya tentang merasa tidak sakit. Sehat adalah tentang tahu kondisi tubuh secara menyeluruh, bahkan sebelum keluhan itu datang.

Saat kamera mulai padam, kata-kata dr Firdaus masih terngiang: “Mengetahui kondisi tubuh bukan kelemahan, itu keberanian.” Karena sejatinya, menjaga kesehatan bukan soal takut sakit. Tapi soal cinta diri dan kesiapan menghadapi masa depan. (*)