MAKASSAR, UNHAS.TV - Seiring Asia menghadapi tantangan ketahanan pangan, pertumbuhan penduduk, dan perubahan iklim, pencarian tanaman pokok yang berkelanjutan dan tangguh semakin intensif.
Beras, sebagai pilar utama pola makan Asia, menghadapi tekanan dari kelangkaan air, degradasi lahan, dan pola cuaca yang tidak menentu. Sagu, yang berasal dari empulur pohon sagu (Metroxylon sagu), muncul sebagai alternatif makanan pokok yang menjanjikan karena kemampuan adaptasinya, hasil panen tinggi, dan potensi nutrisinya.
Sagu Tanaman Tangguh dan Kurang Dimanfaatkan
Pohon sagu adalah tanaman tahunan yang banyak tumbuh di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia, Papua Nugini, dan Filipina. Berbeda dengan beras yang membutuhkan irigasi ekstensif dan lahan subur, sagu tumbuh subur di lingkungan rawa-rawa dan tergenang air, tempat tanaman lain sulit bertahan. Ketahanan ini menjadikan sagu pilihan menarik untuk wilayah yang terdampak banjir akibat perubahan iklim atau degradasi tanah.
Satu pohon sagu dapat menghasilkan 150–300 kg pati, dengan perkebunan menghasilkan hingga 25 ton pati per hektar per tahun, sebanding atau bahkan melebihi hasil panen beras dalam beberapa konteks (Flach, 1997).
Selain itu, sagu membutuhkan input minimal, seperti pupuk atau pestisida, dan dapat dipanen sepanjang tahun, memberikan pasokan pangan yang stabil. Sifat-sifat ini sejalan dengan kebutuhan pertanian berkelanjutan di tengah perubahan iklim.
Referensi Ilmiah: Flach, M. (1997). *Sago Palm: Metroxylon sagu Rottb.*. Promoting the conservation and use of underutilized and neglected crops. International Plant Genetic Resources Institute.
Gizi dan Fleksibilitas Kuliner
Pati sagu utamanya adalah sumber karbohidrat, memberikan energi yang sebanding dengan beras. Jika beras mengandung sekitar 80% karbohidrat dan 7–8% protein per 100 gram, pati sagu mengandung hampir 90% karbohidrat dengan protein yang sangat rendah (Karim et al., 2008).
Namun, sagu dapat diperkaya atau dikombinasikan dengan makanan kaya protein, seperti kacang-kacangan atau ikan, untuk menciptakan pola makan seimbang, seperti yang sudah umum dilakukan di komunitas konsumen sagu tradisional.
Keluwesan sagu terlihat dari penggunaannya dalam berbagai bentuk—tepung, mutiara, mi, dan produk panggang—menjadikannya adaptif terhadap tradisi kuliner Asia.
Di Indonesia dan Malaysia, sagu sudah menjadi makanan pokok dalam hidangan seperti papeda (bubur sagu) dan mutiara sagu dalam makanan penutup. Rasa netral dan tekstur kenyalnya memungkinkan sagu menggantikan beras dalam bubur, roti pipih, atau sebagai dasar hidangan gurih.
Referensi Ilmiah: Karim, A. A., Tie, A. P. L., Manan, D. M. A., & Zaidul, I. S. M. (2008). Starch from the sago (Metroxylon sagu) palm: Its properties and potential applications. Comprehensive Reviews in Food Science and Food Safety, 7(3), 215–228.
