
Daeng Kota Makassar 2025 Andi Fauzan Akbar. (dok unhas.tv)
Keputusan itu bukan tanpa dasar. Sejak SMA di Kendari, Fauzan beberapa kali ditawari sponsor untuk mengikuti ajang serupa, namun ia menolak karena fokus pada akademik. Baru setelah masuk kuliah, ia memberanikan diri mencoba.
Prosesnya tak mudah. Seleksi administrasi, pembekalan materi, hingga karantina final diadakan selama hampir sebulan. Tahap akhir berlangsung di Mall Panakkukang dan Trans Studio Mall CPI, disaksikan ratusan penonton.
Yang membuat perjuangan Fauzan berbeda adalah ia melakukannya sendirian. Mulai dari mencari jas, menyewa baju adat, hingga merias diri.
“Peserta lain ada yang dibantu tim, saya benar-benar urus sendiri,” ujarnya. Bahkan, ia mengaku menjadi salah satu peserta yang tampil tanpa make-up.
Meski demikian, kepercayaan diri dan kemampuan public speaking yang ia asah sejak Duta Santri membuatnya menonjol. Hingga akhirnya, ia dinobatkan sebagai Daeng Kota Makassar 2025.
Gelar “Daeng” memiliki akar budaya yang kuat. Secara historis, ia adalah sapaan kehormatan dalam masyarakat Bugis-Makassar, identik dengan bangsawan. Namun dalam konteks kontemporer, pemilihan Dara Daeng tidak lagi terkait garis keturunan.
“Sekarang Daeng dimaknai sebagai representasi pemuda Makassar yang bisa mengangkat budaya, memperkenalkan wisata, dan menjadi teladan,” jelas Fauzan.
Lahir dari keluarga Bugis di Bone, tumbuh di Kolaka, bersekolah di Kendari, dan kini menimba ilmu di Makassar, Fauzan merasa identitas Bugis-Makassar sudah mengalir di darahnya. “Syarat utama memang harus Bugis atau Makassar. Saya bersyukur bisa mewakili,” ujarnya.
Bagi Fauzan, menjadi Daeng berarti memiliki tanggung jawab untuk melestarikan bahasa, pakaian, hingga nilai budaya lokal. Ia mencontohkan kebiasaan sederhana seperti memakai batik ke kampus atau tetap menggunakan bahasa Bugis-Makassar dalam percakapan sehari-hari.
Antara Santri dan Kota Modern
Perjalanan Fauzan merefleksikan jembatan antara dua dunia: tradisi religius di madrasah dan budaya urban Kota Makassar.
Di madrasah, ia terbiasa dengan rutinitas disiplin: belajar dari pukul tujuh pagi hingga lima sore, lalu dilanjutkan kegiatan ekstrakurikuler. Ia tak mondok, namun tetap menyerap kultur santri. Di kampus, ia menghadapi dunia yang lebih bebas. “Kuncinya kontrol diri,” katanya.
Baginya, nilai agama menjadi fondasi dalam menjalani kehidupan mahasiswa. “Apa pun yang saya lakukan harus berdasar pada sesuatu yang tidak bertentangan dengan agama. Hal kecil seperti berdoa sebelum belajar pun penting,” ujarnya.
Kini, dengan selempang Daeng di bahunya, Fauzan ingin membawa peran lebih luas. Ia menyiapkan rencana untuk mempromosikan budaya Makassar, baik melalui media sosial maupun kegiatan langsung.
“Peran anak muda sangat penting. Kalau generasi sekarang tidak mengenal budayanya, bagaimana generasi berikutnya bisa tahu?” katanya tegas.
Ia menekankan pentingnya hal sederhana: mengenakan busana daerah, mempopulerkan bahasa, hingga aktif mengenalkan budaya Bugis-Makassar ke publik. “Itu cara menjaga identitas kita,” ujarnya.
Meski sibuk dengan status barunya, Fauzan tak melupakan tujuan utama: menyelesaikan studi di FKG dan menjadi dokter gigi andal. Ia sadar beban kuliah padat, namun yakin bisa menyeimbangkan. “Prestasi di luar kampus harus mendukung, bukan mengganggu akademik,” katanya.
Fauzan berharap kelak bisa memadukan profesi medis dengan perannya sebagai duta budaya. “Saya ingin membuktikan bahwa dokter gigi pun bisa berkontribusi untuk budaya dan pariwisata,” ujarnya.
Di usianya yang masih belia, Andi Fauzan Akbar telah melewati fase-fase penting: dari santri yang tidur di kelas demi belajar, menjadi duta teladan, hingga kini berdiri di panggung gemerlap sebagai Daeng Kota Makassar 2025.
Dalam dirinya, nilai religius, akademik, dan budaya bertemu. Ia mewakili wajah generasi muda Sulawesi Selatan: ambisius, adaptif, dan berakar kuat pada identitas lokal.
“Daeng bukan sekadar gelar. Ini tanggung jawab untuk menjaga budaya Makassar tetap hidup,” ujarnya menutup wawancara. (*)