UNHAS.TV - Di ujung bulan Juni 2025, Universitas Hasanuddin kembali menegaskan visinya sebagai world class university. Kali ini, bukan sekadar mimpi. Melainkan langkah konkret: membentuk tiga konsorsium riset internasional bersama tiga universitas bergengsi di Amerika Serikat, yakni University of Hawaii at Manoa, University of California Berkeley, dan Stanford University.
Langkah ini dipimpin langsung oleh Wakil Rektor Bidang Kerja Sama, Inovasi, Kewirausahaan dan Bisnis, Prof. Dr. Eng. Adi Maulana, ST., M.Phil., didampingi oleh Direktur Kemitraan Dr. Ansariadi dan Prof. Anwar Daud.
Selama sepekan penuh, tim Unhas berkeliling dari Hawaii ke California, mengikuti serangkaian workshop sebagai tindak lanjut dari nota kesepahaman yang telah diteken sebelumnya.
“Ini bukan sekadar kerja sama akademik. Tapi kemitraan riset yang terukur dan berdampak. Kita berbicara tentang peta jalan, pendanaan bersama, hingga keberlanjutan program,” ujar Prof. Adi Maulana, dalam keterangannya dari California.
Energi Baru dari Hawaii
Di Hawaii, Unhas mendapat sambutan hangat dari Prof. Scott Q. Turn, Kepala Hawaii Natural Energy Institute. Fokus kerja sama pertama adalah pada riset energi terbarukan, khususnya pengembangan Sustainable Aviation Fuel (SAF) dari bahan baku lokal seperti kemiri. Ketertarikan ini berangkat dari kunjungan tim Hawaii ke Makassar pada April lalu.
Namun bukan hanya itu. Bidang pertanian tropis juga menjadi titik temu. Prof. Young Cho dari Departemen Molekuler Biosains dan Bioengineering berminat untuk bekerja sama dengan Dr. Junaidi, peneliti senior Unhas, dalam riset tentang kakao dan kopi.
Dari sini, lahir rencana pembentukan konsorsium riset Unhas–Hawaii–UC Davis, dengan dukungan pendanaan gabungan dari universitas dan sektor industri.
Di sektor kesehatan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Unhas dan School of Public Health University of Hawaii juga bersepakat membentuk konsorsium riset penyakit menular tropis. Fokus awal: demam berdarah.
Jejak Iklim di Berkeley
Langkah Unhas berlanjut ke University of California Berkeley, salah satu universitas riset publik terbaik di dunia. Di kampus yang telah melahirkan 110 peraih Nobel ini, pembicaraan antara tim Unhas dan para ilmuwan UC Berkeley menukik lebih dalam pada persoalan yang semakin mendesak: dampak perubahan iklim terhadap kesehatan masyarakat, khususnya di negara-negara tropis seperti Indonesia.
Diskusi tidak berhenti pada konsep. Para peneliti dari kedua universitas sepakat untuk memusatkan studi lapangan di Makassar—sebuah kota pesisir yang selama ini menjadi titik simpul antara pertumbuhan urban, perubahan iklim, dan kerentanan kesehatan masyarakat.
Studi kolaboratif ini dirancang untuk bersifat multidisipliner, melibatkan ahli epidemiologi, klimatologi, arsitektur kota, serta pakar kebijakan publik. Mereka akan memetakan hubungan antara perubahan suhu dan kelembapan dengan peningkatan kasus penyakit, serta mengevaluasi kapasitas adaptif sistem layanan kesehatan lokal dalam merespons krisis iklim.
Lebih dari sekadar riset akademik, proyek ini diharapkan menghasilkan rekomendasi kebijakan yang konkret. Salah satu tujuannya adalah mendorong pemerintah daerah untuk mengintegrasikan perspektif kesehatan dalam kebijakan adaptasi iklim, seperti perencanaan tata kota tahan banjir, manajemen sanitasi berbasis risiko, serta sistem peringatan dini terhadap wabah yang dipicu oleh cuaca ekstrem.
"Ini bukan sekadar riset untuk jurnal. Ini tentang bagaimana kita menjaga kehidupan masyarakat di tengah krisis iklim yang semakin nyata," kata Dr. Ansariadi, peneliti senior bidang epidemiologi Unhas yang terlibat dalam konsorsium tersebut.
Dengan menggandeng UC Berkeley, Unhas tidak hanya memperluas jangkauan kolaborasi globalnya, tetapi juga menegaskan komitmennya untuk menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat advokasi bagi keberlanjutan dan keadilan sosial, terutama bagi masyarakat pesisir yang kerap terpinggirkan dalam agenda pembangunan nasional.
Tambang, Kesehatan, dan Harapan di Stanford
Perjalanan akademik tim Unhas ditutup di Stanford University, kampus yang menempati peringkat ketiga dunia versi QS Rankings. Dalam workshop khusus, Prof. Adi mempresentasikan posisi strategis Unhas di kawasan Wallacea, kekayaan sumber daya nikel Indonesia, dan ekosistem riset yang telah terbentuk melalui program Thematic Research Group.
Salah satu hasil paling konkret adalah kelanjutan dari Project RISE, proyek revitalisasi pemukiman dan peningkatan kesehatan lingkungan di Makassar yang telah berjalan selama tujuh tahun. Dalam konsorsium ini, Unhas menjadi leading university di Indonesia.
Tak hanya itu. Stanford juga menyetujui alokasi dana riset sebesar Rp5 miliar untuk tiga tahun ke depan. Dana ini akan mendukung riset-riset kolaboratif, termasuk dalam bidang sustainability mining, sebuah isu sensitif namun krusial dalam pembangunan Indonesia.
Di School of Sustainability, Prof. Adi menyampaikan gagasan tentang peran Unhas sebagai Centre of Excellence untuk riset nikel. Ia menekankan bahwa kampus merah marun ini telah mengintegrasikan program studi Teknik Geologi, Pertambangan, Metalurgi, dan Kimia dalam mendukung hilirisasi sumber daya alam secara berkelanjutan.
Presentasi tersebut mendapat sambutan positif dari Dr. Mansur, Direktur Eksekutif Mineral X—institusi riset Stanford yang didanai oleh perusahaan tambang global.
“Isu tambang di Indonesia bukan lagi soal eksploitasi, tapi bagaimana menjadikannya berkelanjutan. Kami siap menjadi lokomotif riset untuk sustainable mining di Asia Tenggara,” tegas Prof. Adi.
Sebagai simbol kolaborasi, Unhas akan meresmikan Unhas–Stanford Centre pada perayaan Dies Natalis Unhas bulan September mendatang.
Membangun Jalan Menuju QS Top 700
Tiga konsorsium baru ini menambah total konsorsium riset internasional Unhas menjadi 22, melonjak jauh dari hanya 3 pada 2022. Langkah ini sejalan dengan target kampus untuk menembus peringkat 700 besar dunia dalam QS World University Rankings tahun depan