Unhas Figure

Semoga Tulisan-tulisan Aswar Hasan Menjadi Cahaya yang Memandunya di Sana

oleh: Yusran Darmawan*

Kabar duka itu datang seperti gelombang yang sulit ditolak. Rasanya belum siap kehilangan sosok yang konsisten membagi pengetahuan.

Ketika saya menjadi mahasiswa Fisip Unhas, Aswar Hasan bukan termasuk dosen favorit, namun entah kenapa saya betah mengikuti kelasnya. Retorikanya datar dan cenderung membosankan. Tapi saya bisa merasakan samudera pengetahuan yang dalam, serta bentang wawasan luas. Kalimat-kalimatnya terjaga. 

Di masa itu, reformasi sedang berkumandang. Hampir setiap hari mahasiswa turun berdemonstrasi. Kampus Fisip Unhas selalu bising dengan orasi. Hingga suatu hari, tokoh reformasi Amien Rais mendatangi kampus untuk membakar semangat mahasiswa untuk turun ke jalan.

Saya masih ingat persis, Amien Rais turun dari mpbil dengan didampingi Aswar Hasan. Hah? Iya benar. Saat itulah, saya melihat jejaring kuat dari pria ini. Tak sekadar mendampingi. Dia membawa Amien Rais menerobos kerumuman mahasiswa. 

Tak lama setelah itu, kampus mendatangkan cendekiawan Muslim, Prof Jalaluddin Rakhmat, untuk kulaih umum di Baruga Andi Pangerang Pettarani. Saat Kang Jalal, demikian cendekiawan itu dturun dari mobil, dia didampingi Aswar Hasan, yang didapuk sebagai moderator. Kembali saya mengagumi jejaring akademisi yang selalu tenang ini.

Di ruang perkuliahan Ilmu Komunikasi, Aswar adalah dosen yang selalu tepat waktu. Dia juga tipe dosen yang tidak gengsi untuk memuji mahasiswanya. Saat saya mulai menulis opini di satu media, dia menghubungi saya, hanya untuk menyatakan kagum dengan tulisan itu.

Bahkan dia memberi saya nilai A di mata kuliahnya, padahal saya jarang mengerjakan tugas kuliah.

Di luar kelas, Aswar Hasan adslah tipe seorang intelektual publik yang menjadikan media sebagai kanvas untuk melukis gagasan-gagasan.

Sependek pengetahuan saya, dia belum pernah menulis buku utuh yang menyajikan satu lanskap pemikiran yang lengkap, tetapi dia amat produktif dalam menghadirkan penggal demi penggal pemikiran di berbagai media massa.

Dia penulis yang prolifik. Hampir setiap minggu, dia akan menulis opini. Dia juga media darling. Semasa saya jadi jurnalis, saya sering diberi tugas untuk mewawancarai Aswar. Dia mengizinkan saya untuk menulis pendapatnya, meskipun tanpa melalui wawancara. 

“Kalau soal-soal normatif, tulis saja nama saya. Yang penting bukan hal-hal yang akan menyerang Pak Jusuf kalla,” demikian pesannya.

Ketika saya kuliah magister di UI, saya pernah menemui Aswar di Mess Sulsel. Dia sudah menjadi anggota Komisi Penyiaran Informasi daerah (KPID) Sulsel. 

Saat pamit untuk pulang, dia memanggil saya lalu menyerahkan segepok uang. Saya sangat terharu, sebab bantuan itu datang saat saya benar-benar krisis keuangan. Mungkin jumlahnya tak seberapa. tapi datang di momen yang tepat. Dia tahu saya butuh, padahal saya tak mengeluarkan kalimat apa-apa.

Beberapa bulan setelah lulus magister, saya didera satu masalah di Makassar. Saya dalam situasi sulit. Di saat-saat seperti ini, kembali dia berinisiatif membantu saya. Dia menunjukkan peta jalan keluar, membantu untuk mengurai persoalan, lalu menyelesaikannya satu demi satu.

Di mata saya, Aswar adalah sosok yang amat suka membantu, amat suka memberi, amat suka menolong, tapi tidak pernah mengharap balasan. Dia hadir saat krisis, dan setelah badai berlalu, dia akan menghilang. 

Dia bukan hanya guru, tetapi juga teman yang selalu hangat untuk membantu. Intelektualitasnya selalu menjadi cahaya terang, yang memandunya untuk selalu obyektif dalam situasi apapun. 

Hari ini, saat mendengar kabar kepergiannya, rasa sedih itu mengalir seperti arus yang tak bisa dibendung. Saya termenung lama, membiarkan ingatan mengembara dan menyusuri semua kebaikan yang pernah ia bagi, dan semua senyap kehadiran yang datang tanpa diminta. 

Kami memang tak pernah bekerja dalam satu lingkaran yang sama, namun persinggungan ide selalu membuat jarak itu seakan tiada.

Saya membayangkan semua tulisannya kini berlayar, menjadi cahaya yang menuntunnya melewati samudera sunyi di alam sana. Setiap kata yang pernah ia goreskan, menjadi lentera yang memantulkan kembali wajah-wajah yang pernah ia bantu. Setiap kebaikan yang ia tanam, menjadi saksi yang tak pernah padam.

Mungkin begitulah cara seorang intelektual sejati meninggalkan warisan. Bukan hanya lewat karya, tetapi melalui jejak hangat di hati orang-orang yang disentuhnya. Dan ketika kelak namanya disebut, yang hadir bukan sekadar kenangan, melainkan rasa syukur pernah mengenalnya.

Semoga cahaya itu terus menuntunnya di dunia yang baru. Dan semoga setiap doa yang datang dari mereka yang pernah bersentuhan dengannya akan menjadi angin yang mendorong bahtera menuju dermaga yang penuh kedamaian.

Selamat jalan guruku.

*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus kuliah di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini mukim di Bogor, Jawa Barat.