Oleh: Syamsir Nadjamuddin*
1. Pendahuluan.
Tulisan ini diangkat dari sebuah syair klasik Makassar berbunyi:
Si Pokok Kayu Matinggia (Sepohon Kayu Yang Maha Tinggi)
Tallu Lawara leko'na (Berdaun Tiga Lembar)
Napa'la'langngi (Yang Menyelimuti)
Sikuntu Bone Alang (Seantero Alam Semesta)
Ekoteologi menghadirkan jembatan spiritual dalam memaknai relasi manusia, alam, dan Tuhan. Krisis lingkungan yang melanda dunia modern mencerminkan keterputusan manusia dari akar-akar spiritualnya. Di tengah kegelisahan tersebut, kearifan lokal Bugis-Makassar menghadirkan konsep Si Pokok Kayu Matinggia (Sepohon Kayu Yang Maha Tinggi) sebagai metafora kosmik yang menuntun kesadaran ekologis dan spiritual.
Pembahasan ini mengurai makna metafora ini dengan pendekatan ekoteologis, filsafat, dan Irfan, memperkaya pemahaman tentang hubungan manusia dengan semesta dan Tuhan.
Dalam dunia modern, relasi manusia dengan alam cenderung bersifat eksploitatif dan mekanistik. Alam dipandang sebagai objek yang dapat dimanfaatkan tanpa batas, sehingga melahirkan krisis ekologi global. Para filosof dan tokoh spiritual telah lama mengingatkan bahwa krisis lingkungan adalah cerminan krisis batin manusia.
Seyyed Hossein Nasr, seorang filsuf Islam terkemuka, menegaskan bahwa “krisis ekologi adalah krisis spiritual yang berakar dari keterputusan manusia dengan tatanan sakral alam semesta” (Nasr, 1996).
Dalam konteks ini, kearifan lokal seperti Si Pokok Kayu Matinggia bisa menjadi jembatan spiritual yang menghidupkan kembali rasa keterhubungan manusia dengan bumi dan langit.
2. Si Pokok Kayu Matinggia: Simbol Kosmik dan Filsafat Kehidupan
Si Pokok Kayu Matinggia, Sepohon Kayu Yang Maha Tinggi, melambangkan poros vertikal kosmik yang dalam tradisi filsafat disebut sebagai axis mundi atau “poros dunia”. Ini mencerminkan hubungan antara tiga tataran eksistensial:
- Alam atas (langit)
- Alam tengah (dunia)
- Alam bawah (akar spiritual atau dunia tak kasat mata)
Metafora ini memperlihatkan konsep Tallu Lawara Leko'na (berdaun tiga lembar), melambangkan kesatuan tiga elemen: Tuhan, manusia, dan alam. Hal ini sejalan dengan pemikiran Mulla Sadra, filsuf Irfan Persia, yang menyatakan:
“Segala realitas adalah satu, hanya tampak beraneka dalam manifestasi.” (Mulla Sadra, al-Hikmah al-Muta‘āliyah).
Tiga daun tersebut dapat pula dimaknai sebagai tiga tingkat kesadaran manusia:
- Kesadaran terhadap Tuhan (haqq)
- Kesadaran terhadap diri sendiri
- Kesadaran terhadap alam semesta
3. Napa'la'langngi dan Sikuntu Bone Alang: Jaringan Kehidupan Semesta
Kearifan lokal menggambarkan semesta sebagai Napa'la'langngi—Yang Menyelimuti—menyiratkan kehadiran Tuhan yang meliputi segalanya. Hal ini sejalan dengan konsep Wahdatul Wujud dalam tasawuf yang dikemukakan oleh Ibnu Arabi, yang berkata:
“Tiada yang wujud kecuali Wujud-Nya. Seluruh alam hanyalah bayangan dari Wujud Mutlak itu sendiri.” (Futuhat al-Makkiyah).
Seluruh ciptaan adalah bagian dari Sikuntu Bone Alang (Seantero Alam Semesta)—suatu tatanan harmonis di mana tiap makhluk memiliki tempat dan peran.
Konsep ini menegaskan keterhubungan ontologis antar makhluk, sebagaimana ditegaskan oleh Jalaluddin Rumi:
“Kita semua adalah benang dalam jalinan keesaan. Putus satu benang, dan jalinan itu kehilangan kesempurnaannya.”
Dalam perspektif Irfan, setiap makhluk adalah tajalli (penampakan) dari sifat-sifat Ilahi. Karena itu, merusak alam berarti merusak cermin yang memantulkan keindahan Tuhan.

Pohon Thuba. "Si Pokok Kayu Matinggia" dengan "Tallu Lawara leko'na" (berdaun tiga lembar) yang "Napa'la'langngi Sikuntu Bone Alang" (menyelimuti seantero alam semesta), secara filosofis melambangkan poros vertikal axis mundi dan kesatuan tiga elemen fundamental: Tuhan, manusia, dan alam. Ini sejalan dengan konsep Thuba sebagai pusat kebaikan dan keberkahan Ilahi yang melingkupi segala wujud, mencerminkan pemahaman Mulla Sadra tentang realitas yang satu dalam manifestasi beraneka. Kredit: Faith-Filled Art.
4. Ekoteologi Si Pokok Kayu Matinggia: Tanggung Jawab Spiritual Manusia
Si Pokok Kayu Matinggia mengajarkan bahwa keseimbangan ekologis harus dijaga dalam harmoni Tallu Lawara Leko'na. Tanggung jawab ini paralel dengan konsep khalifah dalam Al-Qur'an (QS. Al-Baqarah: 30) yang menempatkan manusia sebagai pemelihara, bukan penguasa serakah atas bumi.
Filsuf eksistensial Martin Heidegger dalam The Question Concerning Technology juga mengingatkan bahwa manusia modern telah kehilangan kemampuan dwelling—tinggal secara harmonis dengan alam. Alih-alih menjadi penjaga, manusia justru menjadi perusak.
Dalam konteks ini, Si Pokok Kayu Matinggia menghidupkan kembali panggilan untuk dwelling, untuk hidup bersama, bukan melawan alam.
Dalam tradisi Irfan, manusia disebut sebagai mikrokosmos yang mencerminkan makrokosmos. Imam Khomeini, salah satu tokoh Irfan kontemporer, menulis dalam Adabus Shalat: “Manusia adalah semesta kecil, dan semesta adalah manusia besar.” Dengan demikian, kerusakan ekologis di dunia luar adalah cermin dari kerusakan spiritual di dunia batin manusia.
5. Membangun Kesadaran Ekoteologis: Menghidupkan Si Pokok Kayu Matinggia
Untuk menanggapi krisis lingkungan hari ini, diperlukan kesadaran ekoteologis yang menempatkan alam sebagai bagian tak terpisahkan dari ibadah dan spiritualitas. Dalam kearifan Si Pokok Kayu Matinggia, manusia diajak untuk melihat setiap pohon, air, angin, dan tanah sebagai manifestasi Napa'la'langngi.
Henryk Skolimowski, pelopor ekofilsafat, menyatakan:
“Alam semesta bukan sekadar tempat kita tinggal, tetapi merupakan tubuh agung yang suci, di mana kita adalah bagiannya.”
Dengan memaknai hidup melalui metafora Si Pokok Kayu Matinggia, manusia dapat menumbuhkan kembali rasa syukur, rendah hati, dan tanggung jawab ekologis.
Metafora Si Pokok Kayu Matinggia bukan hanya warisan budaya, tetapi juga jendela spiritual yang menghubungkan manusia dengan realitas tertinggi. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai Irfan, filsafat, dan ekoteologi, metafora ini menyampaikan bahwa alam bukanlah “yang lain”, melainkan cermin eksistensi Ilahi yang harus dihormati dan dijaga.
Sebagaimana dikatakan oleh Ibn ‘Arabi:
“Barang siapa mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya.”
Dan barang siapa mengenal alam semesta, sejatinya ia sedang membaca ayat-ayat Tuhan yang terhampar dalam jagat raya.
Daftar Pustaka
1. Nasr, S. H. (1996). The Spiritual and Religious Dimensions of the Environmental Crisis. Harvard University Press.
2. Mulla Sadra. (2004). The Transcendent Philosophy of the Four Journeys of the Intellect. Islamic College for Advanced Studies.
3. Ibn Arabi. (2002). The Bezels of Wisdom. Paulist Press.
4. Jalaluddin Rumi. (2004). The Essential Rumi. HarperOne.
5. Heidegger, M. (1977). The Question Concerning Technology. Harper & Row.
6. Khomeini, R. (2000). Adabus Shalat. Qom Seminary Press.
7. Skolimowski, H. (1993). A Sacred Place to Dwell: Living with Reverence upon the Earth. Element Books.
*Penulis adalah ASN Kemenag Maros