Opini

Pelajaran Filsafat Menuju Indonesia Emas 2045

Oleh: Supratman 

      Indonesia akan memasuki era ”Indonesia Emas atau generasi emas” pada tahun 2045.  Suatu periode ketika generasi muda negara ini akan memainkan peran penting dalam berbagai sektor pembangunan. Indonesia pada periode ini akan mengalami bonus demografi. Masa bonus demografi adalah masa ketika jumlah penduduk usia produktif (15–64 tahun) akan lebih banyak daripada jumlah penduduk usia nonproduktif (65 tahun ke atas) dan jumlahnya mencapai lebih dari 60 persen dari total penduduk Indonesia.



Presiden Prabowo lewat program makanan bergizi dan anjuran pengajaran matematika di mulai pada tingkat sekolah taman kanak-kanak  adalah upaya mempersiapkan sumber daya manusia unggul sehingga bonus demografi tersebut dapat terwujud secara maksimal, demikian juga dengan usulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang mengusulkan pelajaran coding sejak pendidikan tingkat dasar.

Namun hemat saya sebaiknya pelajaran filsafat yang diperkenalkan sejak dini atau pada tingkat sekolah taman kanak-kanak ketimbang matematika.


Seringkali filsafat tampak sebagai mata pelajaran yang kompleks dan rumit. Filsafat dipandang lebih cocok untuk diajarkan di universitas atau tingkat pendidikan tinggi. Mengajarkan filsafat kepada anak-anak  tampaknya tidak terlalu logis. Pada umumnya, orang beranggapan bahwa belajar filsafat memerlukan pemikiran dan pemahaman yang belum dimiliki oleh anak-anak. Oleh karena itu, filsafat tidak boleh diajarkan kepada anak-anak.


Pada pertengahan tahun 1960-an, Matthew Lipman, seorang filsuf Amerika dan dosen di berbagai universitas serta pendiri Philosophy for Children, memperhatikan bahwa murid-muridnya memiliki kemampuan penalaran dan penilaian yang buruk. Ia menemukan bahwa untuk memperkuat daya nalar pada orang dewasa dan meningkatkan tingkat berpikir kritis dalam masyarakat, sebaiknya dimulai sejak masa usia dini. Lipman ingin menumbuhkan rasionalitas pada masyarakat, dan cara terbaik untuk melakukannya adalah dengan mengajarkan keterampilan berpikir kritis sejak usia dini.



Pandangan mutakhir tentang permasalahan kehidupan saat ini telah membawa para ilmuwan di berbagai belahan dunia pada kesimpulan bahwa filsafat harus diajarkan kepada anak-anak sejak usia dini. Kemampuan untuk membedakan, menilai, dan bernalar memiliki peran yang urgen dalam kehidupan individu dan sosial.


Kemampuan bernalar dan keterampilan menilai adalah hal urgen untuk mencapai pemahaman di antara sesama manusia. Dengan begitu, manusia dapat mengelolah suatu konflik dengan dialog, baik itu secara internal atau pun antar-peradaban.


Menurut Álvarez-Huerta (2022) bahwa salah satu keterampilan yang harus dikembangkan di kelas adalah berpikir kreatif. Hal ini sangat penting karena dapat menciptakan suasana edukatif yang meningkatkan pembelajaran. Siswa yang berpikir kreatif memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan berpikiran terbuka, ceria dan penuh gairah dalam belajar, punya kecenderungan berpikir anti-mainstream yang selalu beda namun  tetap nyaman dengan kemajemukan. Seorang pemikir kreatif juga sangat fleksibel serta bersedia menjalani tantangan dan siap mengambil risiko untuk mencapai di luar jangkaun pemikiran orang banyak. Oleh karena itu, berpikir kreatif sangat penting sebagai daya tahan dalam menghadapi tantangan sosial kontemporer sehingga berpikir kreatif seharusnya telah menjadi tujuan utama di semua jenjang pendidikan.



Filsafat mengajarkan bagaimana meningkatkan seperangkat keterampilan berpikir. Keterampilan yang terpenting dari keterampilan tersebut adalah keterampilan berpikir kritis, berpikir kreatif, dan berpikir peduli. Jika keterampilan ini dikembangkan dengan baik, maka banyak keterampilan lain yang juga akan meningkat, seperti keterampilan bertanya, keberanian menyatakan setuju atau tidak setuju, keterampilan berargumentasi dan mengidentifikasi argumentasi yang kuat atau lemah, kemampuan melihat dari sudut pandang berbeda serta menciptakan konsistensi penjelasan.



Lippman (2003) berpendapat bahwa filsafat untuk anak adalah kegiatan pendidikan yang meningkatkan pemikiran anak dan menggunakan filsafat sebagai cara untuk menumbuhkan pemikiran moral, berpikir kritis dan kreatif. Filsafat untuk anak-anak sebagai sebuah metode pendidikan memungkinkan siswa, anak-anak, dan remaja untuk sama-sama mampu mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru dan orisinal tentang kehidupan dan maknanya. Pendidikan ini mendorong pemikiran kritis dan kreatif siswa dalam suasana yang penuh perhatian dan persahabatan (Kizel: 2016 ).



Ide pengajaran filsafat kepada anak sangat berkaitan dengan pemikiran, metode dan karakter Socrates. Bagi Socrates dan para pengikutnya, jalan menuju pengetahuan dimulai dengan mengenali ketidaktahuan seseorang. Peran seorang guru dapat diibaratkan sebagai seorang bidan. Guru harus bertanya dengan cara yang memungkinkan kebenaran muncul. Ibarat seorang bidan, guru membantu menghasilkan ide. Pepatah Socrates bahwa “kehidupan yang tidak bernilai tidak layak dijalani” menjadi dasar gagasan ini.



Di dunia yang serba cepat, rumit dan canggih  (sophisticated) saat ini, orang perlu mempelajari keterampilan berpikir untuk menghadapi tantangan secara rasional. Di sisi lain, filsafat bagi anak dikenal sebagai salah satu alat utama untuk mengembangkan kemampuan berpikir pada anak. Kita bisa mengajar anak-anak pada level mereka sendiri. Mari kita buat mereka penasaran dan bertanya-tanya serta berusaha membuat mereka belajar berbicara dengan akal dan menerima dengan akal. Program “Filsafat untuk Anak” sudah dilaksanakan di lebih dari 60 negara (Ventista; 2019).


Lipman sangat menekankan bahwa sekolah harus menjadi pusat pendidikan “Filsafat untuk Anak”. Ia yakin  bahwa filsafat sangat berguna untuk melatih pikiran siswa. Penyajian pelajaran di kelas hendaknya dilakukan oleh siswa, dan guru hanya berperan sebagai pembimbing.


“Filsafat untuk Anak”, bagi Lipman, merupakan salah satu program pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak dan remaja untuk membentuk pemikiran dan wawasan yang luas. Dengan cara ini daya nalar, pemikiran kritis dan kreatif serta altruisme mereka juga akan meningkat. Program ini bersifat sistematis dan bertahap, yang sebagian besar dirancang oleh Lipman untuk diterapkan pada anak-anak berusia 4 hingga 17 tahun


>> Baca Selanjutnya