Oleh: Yusran Darmawan*
Mereka berkumpul di sebuah ruangan sederhana, di sebuah kota yang belum benar-benar pulih dari gejolak revolusi. Malam itu, seorang pemuda Malaysia duduk di antara peserta.
Usianya 19 tahun. Ia datang jauh dari Penang, mencari sesuatu yang tak hanya sekadar ilmu dari kampusnya di Universitas Malaya. Di depannya, seorang kader HMI berbicara. Tentang Islam yang tak hanya dipeluk, tetapi juga dipikirkan. Tentang perjuangan yang lebih besar dari ambisi pribadi.
Anwar Ibrahim mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Ia mengikuti pengkaderan HMI dengan antusiasme yang hampir religius.
Di tempat itu, ia menemukan gagasan yang kelak membentuk dirinya: bahwa Islam bisa bersanding dengan demokrasi, bahwa mahasiswa tak boleh hanya menjadi teknokrat tetapi juga pemikir dan penggerak.
Sekian dekade kemudian, ia menjadi Perdana Menteri Malaysia. Tapi jejaknya kembali ke ruang kecil itu—ke diskusi-diskusi di HMI, di mana ia pertama kali belajar bahwa Islam dan kebebasan berpikir bukanlah dua hal yang harus bertentangan.
Kini, lebih dari 70 tahun setelah HMI berdiri, kita bertanya: masihkah ada pemuda seperti Anwar Ibrahim di sana?
HMI pernah menjadi dapur pemikiran, tempat anak-anak muda mendidih dalam perdebatan, membaca buku, dan berusaha menjawab pertanyaan zaman.
Ia melahirkan nama-nama yang tak hanya besar, tetapi juga mengguncang cara kita berpikir: Nurcholish Madjid yang mengajarkan bahwa Islam tak perlu menjadi identitas politik yang sempit, Akbar Tanjung yang membawa idealisme ke politik praktis, atau Dawam Rahardjo yang merawat pemikiran progresif dalam Islam.
Dan juga Munir Said Thalib.
Munir bukan politisi. Ia bukan pencari kuasa. Ia adalah suara yang tetap lantang meski tahu ada yang mengincarnya dalam gelap. Kader HMI dari Malang ini memilih jalan yang sulit: melawan penindasan, melawan impunitas, melawan rezim yang ingin diam.
Ia melawan dengan kata-kata dan keberanian. Ia membela mereka yang diculik, disiksa, dibuang. Ia mengadvokasi keadilan bagi mereka yang suaranya dipadamkan. Dan akhirnya, ia sendiri yang dipadamkan.
Racun arsenik di tubuhnya mengakhiri hidupnya di langit asing, dalam perjalanan ke Belanda. Tapi lebih dari itu, ia adalah lilin yang meleleh perlahan, menyala untuk orang lain, meski tahu ia akan habis sebelum fajar tiba.
Kini, kita bertanya: berapa banyak Munir yang masih ada di HMI?
Maka tak heran, setiap kali kontestasi politik berlangsung, kita melihat sesuatu yang aneh tapi biasa: politisi yang tiba-tiba mengaku kader HMI.
Mereka yang dulu tak pernah aktif, yang tak pernah mengikuti diskusi-diskusi kritis, kini mengklaim bagian dari sejarah panjang itu.
Sebab di negeri ini, organisasi seperti HMI bukan hanya wadah intelektual, tetapi juga jaringan kekuasaan. Maka muncullah mereka yang, dengan bangga, menyebut diri kader HMI demi menarik simpati, meski mereka tak pernah benar-benar memahami gagasan-gagasan yang pernah tumbuh di dalamnya.