
Max Weber pernah mengingatkan bahwa politik, jika hanya menjadi ajang perebutan kekuasaan tanpa etika, akan melahirkan manusia-manusia yang mengejar "legitimasi kosong." Dan itulah yang kini kita lihat: organisasi yang pernah besar karena gagasannya, kini lebih sibuk mencari tempat di panggung kekuasaan.
Tapi bukan hanya mereka yang melihat HMI sebagai alat, ada juga yang pernah melihat HMI sebagai beban. Nurcholish Madjid—tokoh yang tumbuh dan besar di dalam HMI—justru pernah mengusulkan agar organisasi ini dibubarkan. Ia melihat bahwa HMI yang dulu menjadi lokomotif pemikiran telah berubah menjadi gerbong kosong yang berjalan tanpa arah. Gagasan itu tentu kontroversial, tetapi ia lahir dari kekecewaan.
Cak Nur tidak membenci HMI. Justru sebaliknya, ia ingin organisasi itu tetap relevan. Ia khawatir HMI hanya akan menjadi alat bagi mereka yang ingin berkuasa, bukan lagi tempat bagi mereka yang ingin berpikir. Dan hari ini, pertanyaan itu tetap menggantung: apakah HMI masih melahirkan pemikir, atau sekadar jaringan politik bagi mereka yang haus jabatan?
Ada sesuatu yang goyah dalam ingatan kita tentang HMI. Sejarahnya panjang, tetapi dalam ingatan kolektif, ia terasa seperti sesuatu yang terpecah—ada yang hilang, ada yang samar.
Milan Kundera pernah menulis: "The struggle of man against power is the struggle of memory against forgetting." Perjuangan manusia melawan kekuasaan adalah perjuangan ingatan melawan pelupaan.
Tapi bagaimana jika yang terjadi bukan sekadar lupa, melainkan ingatan yang retak?
Kita mengingat HMI sebagai tempat lahirnya pemikir besar, tapi kita juga melihat HMI kini hanya sebagai kendaraan politik. Kita mengingat HMI sebagai tempat gagasan Cak Nur tumbuh, tetapi juga ingat bahwa Cak Nur sendiri ingin membubarkannya.
Kita mengingat Munir sebagai kader HMI yang berani, tetapi HMI hari ini lebih sering melahirkan politisi pragmatis daripada pejuang seperti dia.
Mungkin, di suatu sudut yang sunyi, ada anak muda HMI yang masih membaca buku-buku Cak Nur, yang masih menggugat kepalsuan, yang masih percaya bahwa intelektualitas harus lebih besar daripada ambisi.
Mungkin, di tempat lain, ada kader HMI yang memilih jalan Munir—memilih keberanian, meski tahu harga yang harus dibayar.
Untuk mereka, dan hanya untuk mereka, sejarah HMI masih punya harapan. Sebab organisasi ini tidak akan diingat karena kepentingan-kepentingan pragmatis yang sekarang mengelilinginya, tetapi karena jejak-jejak pemikiran dan perjuangan yang pernah lahir darinya.
Maka mungkin, di suatu hari nanti, akan lahir kembali seorang mahasiswa yang mengembalikan HMI ke akar keberadaannya—bukan sekadar perkumpulan politik, tetapi perhimpunan pemikir.
Dan jika hari itu tiba, sejarah akan tersenyum.
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Pernah kuliah di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.