Ekonomi

Starbucks Kurangi Jumlah Kursi dan Meja, Ini Alasannya

Starbucks (foto: X @SbuxIndonesia)

MAKASSAR, UNHAS.TV - Sekian lama orang sudah akrab dengan suasana ngopi di Starbucks. Orang datang untuk minum kopi dan bercengkerama sambil, --mungkin -- sesekali mengerjakan tugas kantor.

Tapi itu dulu ketika masih banyak kursi dan meja, ketika Starbucks masih kuat dengan filosofinya sebagai "tempat ketiga" setelah rumah dan kantor.

Ketika masih sebagai 'tempat ketiga", Starbucks dibuat senyaman mungkin. Orang yang datang diperlakukan istimewa. Nama mereka ditulis di dinding cangkir kertas sebagai penghargaan. Barista akan selalu ramah menyapa dan mengobrol.

Namun situasi sekarang sudah berubah. Aplikasi menjamur. Orang makin sibuk. Pola belanja juga sudah berubah drastis.

Penelitian terbaru menunjukkan, lebih dari 70 persen penjualan dari 9.500 toko di Amerika Serikat disumbang oleh aplikasi telepon dan Lantaru (layanan tanpa turun atau drive-thru). Data ini ternyata disikapi oleh Starbucks dengan strategi baru.

"Definisi 'tempat ketiga' harus diperluas di Starbucks," kata CEO Starbucks, Laxman Narasimhan. "Tempat ketiga tidak boleh lagi digambarkan sebagai ruang yang dibatasi dinding tempat orang bisa bertemu. Hal itu sudah tidak berlaku lagi."

Sebagai gantinya, sudah banyak gerai Starbucks di Amerika Serikat telah mengurangi jumlah kursi dan meja. Begitu pula jumlah barista.

Pelanggan bahkan sudah disediakan layanan khusus yakni dapat memesan melalui mesin atau melalui telepon genggam, lalu datang ke toko untuk ambil pesanan kopi yang sudah bertuliskan nama pemesan yang dicetak oleh komputer.

Strategi ini didukung oleh data perusahaan bahwa penjualan langsung di gerai sudah menurun. Faktor pandemi Covid-19 ditengarai sebagai salah satu pendorong berubahnya pola belanja pelanggan.

Starbucks menyebut, penjualan melalui telepon genggam dan Lantaru justru bisa meningkatkan penjualan dan laba. Biaya tenaga kerja ikut menurun. Biaya sewa tempat juga demikian.(*)