MAKASSAR, UNHAS.TV - Sudah tiga tahun Thailand menjadi negara pertama di Asia yang mendekriminalisasi ganja, selama itu pula penjualan ganja justru makin meningkat dan menjadi fenomena "demam ganja" di mana-mana.
Kafe-kafe yang menyediakan ganja bertebaran di seantero negeri, khususnya di daerah wisata. Orang seperti leluasa membeli ganja dan pemerintah tidak menyukai dampak tersebut walau tetap harus bersikap liberal mengenai zat itu.
Kini, Thailand mengeluarkan satu kebijakan baru demi bisa mengurangi peredaran ganja dan membuatnya lebih terkendali. Aturan baru itu yakni membolehkan penggunaan ganja hanya untuk tujuan medis dan kesehatan.
Siapa saja bisa membeli ganja sepanjang menyertakan resep dokter untuk membeli ganja. Menteri Kesehatan Publik Thailand Somsak Thepsutin menegaskan, ganja adalah jenis narkotika tetapi bisa diizinkan hanya untuk penggunaan medis saja. Aturan itu agar ganja dinilai sebagai ramuan yang dikendalikan.
Itu berarti toko ganja berlisensi sekarang hanya dapat menjual kepada pelanggan dengan resep medis. Mereka juga diharuskan menyimpan catatan penjualan terperinci dan menghadapi pemeriksaan rutin oleh pihak berwenang.
Aturan baru juga memberlakukan kendali yang lebih ketat terhadap petani dan peternak, melarang iklan komersial, dan melarang penjualan ganja di mesin penjual otomatis atau daring.
Hingga saat ini, lebih dari 18 tibu toko ganja berlisensi di seluruh negeri harus beradaptasi atau berisiko tutup. Hukuman bagi penjual yang kedapatan melanggar aturan baru tersebut termasuk hukuman penjara hingga satu tahun atau denda 20.000 baht atau setara dengan Rp 9,3 juta, meskipun kementerian kesehatan mengusulkan undang-undang baru yang akan meningkatkan hukuman tersebut secara signifikan.
Mariyuana medis telah dinyatakan legal di Thailand sejak 2018 namun mengalami dekriminalisasi pada 2022 yang memungkinkan siapa saja bisa menanam dan memperjualbelikan mariyuana dan produk turunannya untuk tujuan pengobatan. Namun, aturan ini ternyata punya dampak membahayakan. Aturan ini kemudian disalahgunakan sehingga peredaran ganja makin marak dan mengakibatkan banyak anak-anak terdampak.
Beberapa turis kemudian membeli ganja dari Thailand lalu menyelundupkan ke Inggris. Penyelundupan itu dilakukan dengan cara mengirim ganja melalui paket surat sehingga lolos dari pengawasan.
Antara Oktober 2024 hingga Maret 2025, pemerintah Inggris sudah menahan lebih dari 800 orang penyelundup ganja dan menyita lebih dari 9 metrik ton ganja asal Thailand.
Tuntutan untuk melegalkan ganja sebagai bahan medis masih terus menjadi perddebatan di Indonesia. Beberapa pihak mendorong Indonesia untuk ikut melegalkan ganja sebagai bahan untuk perawatan medis dan kesehatan namun upaya ini belum membuahkan hasil berarti.
Secara ilmiah, ganja memiliki kandungan senyawa cannabidiol (CBD) yang memiliki efek farmakologi namun tidak bersifat psikoaktif. Salah satu kegunaan senyawa ini yakni untuk anti kejang.
Balai Obat dan Makanan (FDA) Amerika Serikat telah menyetujui pengembangan CBD sebagai obat, salah satunya melalui obat epidiolex untuk terapi kejang pada penderita Lennox-Gastaut Syndrome atau Dravet Syndrome.
Pada sisi lain, kata pakar farmakologi dan farmasi klinik Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Apt Zullies Ikawati PhD, ganja juga mengandung senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif yang bisa memengaruhi psikis dan menyebabkan ketergantungan dan memengaruhi mental penggunanya.
Karena itu, katanya, penggunaan ganja harus dilakukan secara terkontrol dan hanya jadi alternatif. "Bukan pilian pertama karena ada aspek lain yang harus dipertimbangkan," ujarnya sebagaimana dikutip dari laman UGM.(*)