UNHAS.TV - Di balik senyum yang ditahan dan tubuh yang seolah tenang, ribuan pasien epilepsi di Indonesia setiap hari berperang dalam senyap. Tidak semua luka tampak di kulit, dan tidak semua penyakit dapat disembuhkan dengan obat yang ada.
Di laboratorium-laboratorium tenang di Universitas Hasanuddin (Unhas), Makassar, secercah harapan sedang dirajut dalam bentuk partikel nano, tetes obat hidung, dan mimpi yang tak kalah kecil dari ambisinya: menumpas epilepsi resisten obat di Tanah Air.
Epilepsi resisten obat adalah kondisi ketika penderita epilepsi tidak lagi merespon pengobatan standar. Menurut laporan WHO, sekitar 30 persen penderita epilepsi di dunia berada dalam kategori ini.
Di Indonesia, dengan akses dan pemahaman farmasi yang masih tertinggal, angka epilepsi resisten obat ini berpotensi lebih tinggi.
Kondisi ini tak hanya mengancam kualitas hidup pasien, tapi juga keluarga yang merawat mereka—terutama ketika frekuensi kejang makin sering, dan solusi medis seakan berputar di tempat.
Untuk itulah proyek ambisius bertajuk TUMPAS Epilepsi Indonesia dilahirkan. Dalam Bahasa Indonesia, “tumpas” berarti menghancurkan hingga tuntas.
Tapi dalam dunia sains, TUMPAS adalah akronim dari Targeted brain delivery Using Modern Pharmaceutical innovation of Antiepileptic drug to Solve drug-resistant Epilepsy in Indonesia.
Sebuah nama panjang yang menggambarkan kolaborasi lintas negara antara peneliti Universitas Hasanuddin, Aston University, dan University of Birmingham.
Achmad Himawan, seorang peneliti muda dari Fakultas Farmasi Unhas, mengenang bagaimana proyek ini berawal dari sebuah percakapan santai di antara rekan-rekan peneliti lintas negara.
“Awalnya cuma ngobrol santai, kita sahabat lama. Tapi lalu muncul ide, kenapa tidak bikin proyek bareng?” katanya sambil tersenyum.
Percakapan iseng itu berubah menjadi proposal resmi yang dikirim ke skema pendanaan International Science Partnership Fund (ISPF) yang dikelola British Council dan LPDP.
Dari ratusan pengajuan, hanya tujuh proyek di Indonesia yang lolos pendanaan. TUMPAS adalah salah satunya. Di balik keberhasilan itu, ada ketekunan dan koneksi antarmanusia yang tidak kalah penting dari kehebatan teknologi itu sendiri.
“Sains selalu butuh kerja sama. Tapi yang membuat kerja sama ini unik adalah semangatnya: mempertemukan kebutuhan lokal dengan teknologi global,” jelas Himawan.
Fokus utama proyek ini adalah memformulasi ulang obat-obatan anti epilepsi—khususnya yang sudah tersedia dalam skema BPJS.
Banyak pasien epilepsi di Indonesia harus minum belasan butir obat tiap hari, dengan efek samping yang kadang lebih menyakitkan daripada penyakit itu sendiri.
“Kami ingin menciptakan sediaan obat yang lebih praktis, aman, dan sesuai dengan kondisi biologis serta sosial masyarakat Indonesia,” katanya.
Teknologi yang digunakan bukan teknologi awam. Mulai dari sistem pengantaran obat melalui partikel nano, hingga metode delivery intranasal yang memungkinkan obat diserap langsung ke otak melalui rongga hidung.
Bahkan ada riset yang mempertimbangkan penggunaan teknologi transdermal, atau penyaluran obat melalui kulit. Semua itu didesain agar dosis bisa ditekan tanpa mengurangi efektivitas.
Sebagai pembuka jalan, Unhas menggelar simposium perdana proyek ini di Makassar di Aula Prof Idrus A Paturusi, RS Unhas, pada Sabtu, 17 Mei 2025.
Dalam simposium tersebut, para ilmuwan dari Inggris datang langsung untuk melihat kenyataan di lapangan. Mereka tidak hanya berdiskusi dengan profesor dan peneliti, tapi juga berbicara dengan perawat, apoteker, dan dokter yang setiap hari bersentuhan dengan pasien epilepsi.
“Kami ingin pendekatan ini tidak sekadar saintifik, tapi juga kontekstual,” kata salah satu dosen farmasi yang menjadi panitia. Dalam forum itu, isu genetik dan kultural menjadi sorotan penting.
“Pasien di Indonesia punya karakteristik berbeda dengan pasien di UK. Jadi kami tidak bisa serta merta menyalin teknologi dari sana,” lanjut Achmad Himawan yang meraih gelar PhD di Inggris ini.
Tahap berikutnya adalah pengembangan model uji coba yang lebih mencerminkan realitas pasien Indonesia. Ini mencakup pengembangan in vitro (pengujian dalam sel) dan in vivo (pengujian pada hewan) yang merepresentasikan ragam genetik masyarakat Indonesia.
Tim TUMPAS sadar bahwa solusi farmasi tidak akan efektif jika tidak memperhitungkan faktor-faktor lokal yang mempengaruhi metabolisme dan respons tubuh terhadap obat.
Selama dua dekade terakhir, Indonesia memang belum banyak terlibat dalam pengembangan obat yang berbasis kondisi lokal.
Kebanyakan terapi mengikuti standar internasional yang dirancang untuk populasi Eropa atau Amerika. Di sinilah letak revolusi TUMPAS: menciptakan solusi dari dan untuk Indonesia.
Kisah ini juga menyiratkan pentingnya menjembatani laboratorium dengan kenyataan. Sering kali, sains terlalu tinggi dan masyarakat terlalu jauh.
Proyek ini berusaha menyatukan keduanya, agar hasil penelitian tak hanya menjadi jurnal ilmiah, tapi obat nyata yang bisa mengurangi kejang seorang anak di pelosok Sulawesi.
Pada akhirnya, TUMPAS bukan sekadar proyek farmasi. Ia adalah contoh bagaimana penyakit sunyi seperti epilepsi bisa ditangani dengan pendekatan yang tidak sunyi—dengan kolaborasi, keterbukaan, dan empati. Dalam partikel nano yang nyaris tak terlihat, ada tekad besar untuk membuat perubahan.
Jika proyek ini berhasil, maka Indonesia tak hanya akan menumpas epilepsi resisten obat, tapi juga membuktikan bahwa riset lokal bisa berbicara di panggung global.
Dan bahwa secercah harapan selalu mungkin, bahkan dalam kesunyian yang mengguncang saraf dan kesadaran manusia.
(Iffa Aisyah Rahman / Rahmatia Ardi / Unhas.TV)