Unhas Story

Yam Limau Hadir dari Obrolan Warung Kopi, Ardi Meracik Ayam Pop dengan Aroma Jeruk




Ardimansyah Owner yam.limau di Jl Poros Malino, depan kampus Teknik Unhas Gowa. (dok unhas.tv)


Ide sederhana itu bermula dari kejenuhan makan nasi putih yang itu-itu saja. Sebagai konsumen, Ardi merasa perlu sesuatu yang aromatik, mengundang selera.

Ia mulai bereksperimen di dapur kontrakan—terinspirasi dari video YouTube tentang nasi daun jeruk. Ia racik, coba, beri teman untuk icip-icip. Dari 10 orang yang mencicipi, 10 bilang: “Gas!”

Ayamnya pun bukan sembarang ayam. Bukan lagi paha utuh yang penuh tulang seperti ayam geprek yang biasa ditemui.

“Saya pilih ayam pop crispy, tanpa tulang, supaya makan cukup pakai sendok saja. Praktis,” ujarnya. “Tapi yang penting, ayamnya tetap dominan, bukan tepungnya.”

Ardi juga tak ingin jadi sekadar pedagang. Ia menempatkan diri sebagai konsumen, membedah perilaku pelanggan, terutama mahasiswa kos yang lapar tapi enggan keluar kamar.

Maka lahirlah layanan pesan antar lewat WhatsApp dan Instagram. Biaya antar? Cuma Rp4.000, jauh lebih murah dari aplikasi daring. “Saya tahu rasanya jadi anak kos,” ucapnya.

Kini, Yamu --akronim Yam.Limau, tak lagi hanya Ardi dan satu karyawan. Ia memimpin tim 11 orang; lima pegawai di dapur, dua kasir, satu akuntan, satu admin media sosial, dan dua kurir. “Target saya, dua tahun ke depan Yamu buka di semua area kampus di Makassar,” katanya mantap.

Sambil meracik mimpi, Ardi tetap berpegang pada tujuan awalnya kuliah, menjadi sarjana teknik. “Saya satu-satunya dari dua bersaudara yang kuliah. Orang tua saya ingin lihat anaknya diwisuda. Tahun ini harus sarjana,” teguhnya.

Setelah lulus? Ia ingin rehat dua tahun, fokus membangun sistem operasional Yamu, menata SDM, sambil perlahan mewujudkan impian berikutnya, punya CV konstruksi sendiri atau mungkin bekerja di BUMN.

Untuk mahasiswa yang ingin mulai usaha, Ardi punya satu pesan, “Jangan tunggu sempurna. Mulai aja dulu. Banyak bisnis besar itu lahir dari ide yang sederhana dan keberanian untuk mengeksekusinya.”

Bagi Ardi, Yam Limau bukan sekadar bisnis. Ia adalah ruang belajar, medium ekspresi, dan bentuk pengabdian sebagai mahasiswa teknik yang tak hanya membangun jembatan dan gedung, tapi juga membangun mimpi dari dapur sempit.

"Kalau mau usaha sambil kuliah, harus berani," pesannya. Berani mengorbankan waktu main, waktu tidur, bahkan waktu pulang kampung. "Tapi semua akan terbayar saat kamu lihat orang antre beli masakanmu."

Dari balik kontainer mungil, nasi harum dan ayam tanpa tulang itu membuktikan satu hal, mimpi bisa dimulai dari sendok, seporsi ide, dan keberanian untuk katakan "gas". (*)