Unhas Figure
Unhas Sehat

Ardiansyah S Pawinru dan Keseimbangan Dokter-Aktivis




Di balik jas lab mahasiswa kedokteran gigi yang sibuk dengan praktikum dan anatomi, ia justru menemukan ruang pembentukan diri di tengah diskusi-diskusi organisasi dan dinamika advokasi mahasiswa.

Ia pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Mahasiswa FKG, Ketua Dewan Mahasiswa Profesi, dan aktif dalam berbagai forum lintas kampus, dari Koas hingga parlemen mahasiswa Universitas Hasanuddin. 

Di luar kampus, ia menyatu dalam gerakan intelektual muda: menjadi kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), lalu menjabat di Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), hingga dipercaya memimpin Masika ICMI Sulsel—organisasi cendekiawan muda muslim.

“Organisasi mengajarkan saya tentang konsistensi dan integritas,” ucapnya. Ia belajar bahwa rapat bisa berlangsung hingga larut malam, lalu esok paginya harus tetap masuk kuliah atau menghadapi ujian praktikum.

Tidak ada ruang manja. Ia menyebut masa itu sebagai “universitas kehidupan” di mana teori ditekuk oleh realitas, dan keputusan tak lagi sekadar soal benar-salah, tapi tentang keberanian dan tanggung jawab.

Dokter yang Tetap Turun ke Jalan

Aktivisme Ardi tak berhenti setelah lulus. Ia tetap menjadi suara kritis terhadap kebijakan kesehatan. Ia termasuk yang aktif menolak beberapa poin dalam UU Kesehatan yang dianggap melemahkan peran organisasi profesi. “Demonstrasi itu bukan demi dokter, tapi demi keselamatan pasien. Kalau tidak ada kontrol etik, siapa yang jamin mutu pelayanan?” tegasnya.

Ia prihatin saat dunia medis makin dikendalikan regulasi birokratis tanpa ruang dialog. Menurutnya, sistem kesehatan yang sehat tidak mungkin dibangun hanya dari balik meja kementerian, tanpa mendengar suara dari lapangan.

“Organisasi profesi harus jadi mitra, bukan lawan. Tapi selama ini kami sering tidak diajak bicara,” katanya, dengan nada yang lebih kecewa daripada marah.

Di sinilah, menurut Ardi, aktivisme dan profesinya saling melengkapi. Sebagai dokter, ia tahu betul prosedur medis, rantai pelayanan, dan tantangan klinik sehari-hari.

Tapi sebagai aktivis, ia tak segan bersuara, menulis kajian, hadir dalam diskusi publik, bahkan ikut turun ke jalan jika diperlukan. 

“Kami bukan anti-pemerintah. Tapi kami tahu bagaimana sistem ini bekerja di ujung pelayanan. Ketika aturan dibuat tanpa mendengar kami, yang dikorbankan bukan hanya dokter, tapi pasien,” ujarnya tegas.

Bagi Ardi, profesi kedokteran bukan sekadar soal kompetensi, tapi juga etika. Dan etika hanya bisa ditegakkan jika profesi punya ruang untuk menjaga dirinya sendiri—bukan sepenuhnya diatur dari luar. “Kalau suara kami dibungkam, bukan hanya integritas profesi yang runtuh, tapi juga kepercayaan masyarakat.”

Menjadi Fasilitator, Bukan Penguasa

Sebagai dosen, Ardi menyadari tantangan baru: generasi mahasiswa yang kritis dan informatif. “Dulu, apa yang dikatakan dosen adalah kebenaran. Sekarang, mahasiswa bisa cek literatur, buka jurnal. Jadi diskusi lebih sehat,” katanya.

Dan menurutnya, organisasi tetap penting bagi pengembangan karakter. Bukan hanya sebagai tempat berkumpul atau mencatat jabatan dalam CV, tapi sebagai ruang belajar yang sesungguhnya—tempat di mana seseorang ditempa dalam tekanan, ditantang dalam konflik, dan diuji dalam konsistensi.

“Organisasi bukan soal formalitas. Itu ruang belajar tanggung jawab sosial,” tambahnya.


>> Baca Selanjutnya