Opini

Bukan Sekadar Jual Pesawat, Presiden Prancis Emmanuel Macron Incar Nikel Halmahera




Di bawah kanopi hutan tropis Halmahera, tersimpan 17 persen cadangan nikel dunia. Tambang Weda Bay dioperasikan oleh konsorsium: Antam (Indonesia), Strand Minerals (Singapura), dan Tsingshan (Tiongkok).

Dalam struktur yang sudah padat oleh kekuatan Asia itu, Macron tidak datang untuk menggusur, tetapi untuk menanam pengaruh. Ia tahu, dalam medan pasca-batu bara ini, akses adalah kekuasaan baru.

Strategi Macron selaras dengan misi Uni Eropa: de-risking, atau melepaskan ketergantungan dari pasokan Tiongkok. Maka Indonesia, dengan tambang tropisnya dan jalur maritim strategisnya, bukan sekadar mitra ekonomi, tapi batu pijakan dalam membangun kedaulatan energi Eropa.

Bagi Macron, mengamankan nikel Indonesia sama pentingnya dengan menjual jet tempur. Bukan karena nikel lebih glamor, tapi karena logam ini adalah kunci geopolitik masa depan.

Dalam tiap baterai mobil listrik, dalam setiap panel surya dan pusat penyimpanan energi, terdapat jejak logam yang kini diperebutkan. Dan di balik angka perdagangan itu, tersembunyi arena diplomasi yang jauh lebih kompleks—dari stabilitas regional hingga manuver maritim di Laut Cina Selatan.

Nikel bukan lagi soal ekonomi, melainkan tentang siapa yang akan menguasai masa depan. Maka logistik tambang di Halmahera bisa lebih menentukan kebijakan luar negeri Prancis ketimbang rapat kabinet di Istana Élysée.

Macron sadar: untuk mempertahankan otonomi strategis Eropa, Prancis tak bisa hanya menjadi pembeli. Ia harus hadir di hulu produksi. Ia harus menanam kemitraan. Ia harus mengunci jalur pasok. Indonesia—dengan kekayaan mineral dan relasi yang kini menghangat—adalah peluang yang terlalu berharga untuk dilewatkan.

Dalam peta baru itu, tambang nikel berdiri sejajar dengan pangkalan militer dan kesepakatan pertahanan. Ia bukan hanya sumber daya, tetapi dokumen negara—bagian dari diplomasi mineral yang tak kalah penting dari diplomasi senjata.

Luka-Luka di Weda Bay

Namun semua ini tidak datang tanpa luka. Aktivitas pertambangan di Weda Bay telah memicu kekhawatiran besar. Deforestasi merambah. Jalur logistik menembus hutan. Ekosistem tropis tercabik.

Dan di balik semua itu, masyarakat adat yang selama ini memilih hidup terpisah dari dunia modern kini mulai terusik. Beberapa bahkan menolak kontak sama sekali. Tapi dunia datang mendekat, dengan buldoser, kesepakatan bisnis, dan nama-nama besar dari Eropa.

Ironi zaman kita terasa menyesak: atas nama menyelamatkan bumi, kita justru menggali lukanya. Demi mengurangi emisi karbon, kita menebang pohon, mengusir manusia dari hutannya, dan menghancurkan rumah bagi satwa langka.

Transisi energi memang penting. Tapi dalam praktiknya, hijau seringkali hanya berubah rupa: dari hitamnya batu bara ke abu-abu logam, dari asap pabrik ke debu tambang. Hijau tak selalu bersih. Dan ekonomi dunia tak pernah sepenuhnya netral.

Dalam dunia yang makin digerakkan oleh drone dan algoritma, dalam geopolitik yang kini ditentukan oleh logam dan jalur data, Prancis dan Indonesia menandatangani kontrak.

Tapi kontrak-kontrak itu bukan sekadar tumpukan kertas di atas meja diplomasi. Ia adalah cetak biru masa depan—peta baru kekuasaan yang tak lagi dibangun dari tembok benteng, tapi dari konsesi tambang, akses terhadap mineral, dan dominasi atas informasi.


>> Baca Selanjutnya