
Di tengah gesekan dunia multipolar, logam seperti nikel menjadi pengganti minyak bumi dalam pertarungan pengaruh global. Kini, yang direbut bukan lagi kilang di Teluk Persia, tetapi pulau-pulau terpencil di khatulistiwa yang menyimpan jejak logam masa depan. Yang dibangun bukan hanya aliansi militer, tetapi jaringan rantai pasok dari tambang ke pabrik, dari tanah ke teknologi.
Maka ketika Prancis dan Indonesia menandatangani kesepakatan, yang sedang ditimbang bukan hanya keuntungan ekonomi, tetapi posisi strategis dalam arsitektur baru dunia.
Kontrak itu bisa berarti jalur masuk ke jantung Asia Tenggara, peluang untuk menyamakan langkah dengan dominasi Tiongkok, atau sekadar menjaga agar Eropa tetap relevan di panggung abad ke-21.
Di atas kertas itu, masa depan sedang digambar ulang. Setiap paragraf perjanjian mengandung konsekuensi bagi lanskap ekologi, bagi struktur sosial, dan bagi arah sejarah itu sendiri. Dunia berubah bukan hanya lewat perang atau revolusi, tapi lewat kesepakatan investasi yang ditandatangani dalam diam, di ruang rapat yang sunyi.
Sebagian demi teknologi—agar kendaraan bergerak tanpa asap, agar energi mengalir tanpa arang. Sebagian demi pengaruh—agar bendera tetap berkibar di peta global, agar suara tetap didengar dalam simfoni kekuasaan dunia.
Dan sebagian kecil, mungkin yang paling rentan untuk dilupakan—demi harapan. Harapan bahwa dalam arus besar kapital dan kompetisi global, masih ada ruang bagi kelestarian, bagi keadilan ekologis, bagi suara masyarakat adat yang hidupnya terhubung dengan tanah dan hutan.
Harapan bahwa logam tak selalu harus membawa luka, dan pembangunan tak selalu harus merusak. Namun, di tengah berbagai kesepakatan bisnis, serta aksi merusak bumi, apakah kita masih bisa menanam tunas-tunas harapan?
*Penulis adalah blogger, peneliti, dan digital strategist. Lulus di Unhas, UI, dan Ohio University. Kini tinggal di Bogor, Jawa Barat.