Google telah dituduh melanggar hukum anti-monopoli di beberapa negara, termasuk Uni Eropa, Korea Selatan, Rusia, India, dan Turki, karena diduga menyalahgunakan dominasi pasarnya.
Pada Agustus 2020, Google kalah dalam gugatan yang diajukan oleh pemerintah AS, yang menuduh Google menciptakan monopoli di pasar mesin pencari dengan membuat hambatan besar bagi pesaing. Setelah keputusan ini, Departemen Kehakiman AS meminta Google untuk melepaskan browser Chrome-nya dan melarang Google membuat kontrak eksklusif dengan perusahaan seperti Apple dan Samsung. Selain itu, otoritas persaingan Inggris juga sedang menyelidiki apakah Google memiliki status pasar strategis menurut undang-undang baru di negara tersebut.
Investigasi Anti-Monopoli Dapat Berefek Domino
Perkembangan terbaru menunjukkan bahwa upaya sebelumnya untuk mengurangi ketegangan antara kedua negara telah menemui jalan buntu. Dalam beberapa tahun terakhir, China dan AS telah berulang kali berseteru mengenai tarif, pembatasan perdagangan, dan sanksi terhadap perusahaan teknologi. Pemerintahan Trump selama masa kepresidenannya memberlakukan pembatasan pada perusahaan China seperti Huawei dan SMIC, sementara China membalas dengan tindakan terhadap perusahaan AS.
Investigasi anti-monopoli terhadap Google dapat memiliki konsekuensi luas bagi perusahaan ini dan raksasa teknologi AS lainnya. Jika China mengambil langkah lebih lanjut, perusahaan seperti Apple, Microsoft, dan Amazon mungkin juga menjadi target penyelidikan serupa di masa depan.
Mengingat kondisi saat ini, kemungkinan peningkatan tindakan balasan dari kedua belah pihak sangat besar. Para ekonom memperingatkan bahwa kelanjutan dari situasi ini dapat menyebabkan ketidakstabilan di pasar keuangan global dan berdampak negatif pada perdagangan dan investasi internasional.
Kisah ini masih terus berkembang, dan kita perlu menunggu untuk melihat bagaimana respons selanjutnya dari kedua negara. (*)