Oleh: Yusran Darmawan*
Malam di stadion semakin pekat. Lampu-lampu sorot menyinari lapangan hijau, menerangi para pemain yang berdiri berjejer di tengah lapangan. Lagu kebangsaan Indonesia Raya mengalun, menggema di seluruh sudut stadion.
Di antara para pemain Tim Nasional Indonesia yang berdiri tegak, dada membusung, mata menatap lurus ke depan, ada Kevin Diks Bakarbessy. Tangannya diletakkan di dada, bibirnya bergerak mengikuti lirik lagu kebangsaan. Malam ini, ia mengenakan jersey merah putih, membela negara yang nenek moyangnya tinggalkan puluhan tahun lalu.
Ia melirik ke kiri dan kanan, menyaksikan rekannya sesama keturunan Maluku. Eliano Reijnders Lekatompessy, Shayne Pattynama, Ragnar Oratmangoen, dan Joey Pelupessy berdiri di sampingnya. Mereka semua bangga berbaju timnas merah putih.
Sejenak, Kevin Diks Bakarbessy menarik napas dalam-dalam. Ini lebih dari sekadar pertandingan. Ini adalah babak baru dari sebuah kisah panjang tentang pengkhianatan, keterasingan, perjuangan, dan akhirnya—kepulangan.
***
Lama sebelum Kevin lahir, sejarah keluarganya telah lebih dulu berbelok. Pada awal 1950-an, sekitar 12.500 orang Maluku yang dulu bertempur untuk Belanda dalam perang kemerdekaan Indonesia harus meninggalkan tanah air. Mereka adalah tentara KNIL (Koninklijk Nederlandsch-Indisch Leger), pasukan kolonial Belanda yang setelah kalah, tak lagi punya tempat di Indonesia.
Dijanjikan kehidupan yang lebih baik, mereka naik kapal, berbondong-bondong menuju negeri asing. Rotterdam, Amsterdam, dan kota-kota kecil di Belanda menjadi rumah baru mereka—atau setidaknya, itulah yang dikatakan pada mereka.
Tapi janji tinggal janji.
Di negeri asing itu, mereka dihadapkan pada kenyataan pahit. Mereka tidak diterima sebagai bagian dari masyarakat Belanda, tapi pintu untuk kembali ke Indonesia pun sudah tertutup.
Di pengasingan, mereka bertahan dengan cara mereka sendiri. Bendera Republik Maluku Selatan (RMS) tetap berkibar di rumah-rumah kecil mereka. Anak-anak mereka tetap diajarkan berbahasa Melayu, diajak mengenang Laut Banda, sagu, dan aroma rempah yang memenuhi udara di kampung halaman mereka.
Namun, luka pengusiran itu tak mudah sembuh. Generasi berikutnya tumbuh dalam dilema identitas—lahir di Belanda, tapi hati mereka tertambat pada negeri yang tak lagi mengakui mereka.