DI panggung konferensi, Hilmy Baja berdiri tegak, menyapa audiens dengan penuh percaya diri. Mahasiswa Wageningen University ini tidak sekadar berbicara tentang kecerdasan buatan (AI) dalam dunia pertanian—ia sedang merancang masa depan di mana teknologi dan alam berjalan beriringan.
"Minggu lalu, saya berada di AS menghadiri salah satu konferensi AI terbesar di dunia," kata Hilmy, yang berasal dari Buton, Sulawesi Tenggara.
BACA: Hilmy Baja dan Kecerdasan Buatan di Ladang Gandum
"Saya bertemu banyak ilmuwan AI yang mengembangkan algoritma hebat, tetapi sering kali mereka tampak seperti mencari masalah untuk dipecahkan. Saya ingin melakukan pendekatan sebaliknya—memulai dari masalah nyata di sektor agrifood dan mencari solusi berbasis AI dengan prinsip keberlanjutan," lanjut putra Prof Sumbangan Baja, Guru Besar Universitas Hasanuddin.
Hilmy tidak berbicara tentang AI yang menggantikan petani. Sebaliknya, ia mengembangkan AI sebagai mitra yang membantu petani mengoptimalkan penggunaan pupuk tanpa merusak keseimbangan tanah. Caranya? Dengan mengajarkan AI seperti mengajarkan seorang anak belajar mengemudi.
Belajar dari Video Game
Dalam ilustrasinya, Hilmy menggambarkan bagaimana AI belajar mengendarai mobil dalam simulasi video game. Pada awalnya, AI akan menabrak pohon, melaju tak tentu arah, atau gagal mencapai tujuan. Namun, dengan sistem hadiah—positif untuk keberhasilan dan negatif untuk kesalahan—AI akhirnya belajar mengemudi dengan baik.
Pendekatan serupa diterapkan Hilmy dalam risetnya. Ia menciptakan simulasi pertumbuhan tanaman, di mana AI mengamati interaksi tanah, cuaca, dan pertumbuhan tanaman.
AI kemudian membuat keputusan tentang kapan dan seberapa banyak pupuk yang harus digunakan. Jika pemupukan berlebihan, AI menerima "hukuman." Jika menghasilkan panen optimal tanpa merusak tanah, AI mendapatkan "hadiah."
Simulasi ini dijalankan jutaan kali dengan berbagai kondisi tanah dan cuaca. Hasilnya? AI berhasil menghindari eksploitasi tanah dan tetap mencapai hasil panen yang baik.
Masa Depan Pertanian: AI Sebagai Mitra, Bukan Pengganti
Dengan dunia yang diprediksi harus memberi makan 10 miliar orang dalam 25 tahun ke depan, keseimbangan antara produksi pangan dan keberlanjutan menjadi krusial.