Unhas Speak Up

Hukum dan Politik Indonesia di Mata Prof Pangerang Moenta, Antara Idealitas dan Realitas

UNHAS.TV - Sore itu, di studio Unhas TV, udara terasa hangat namun sarat keseriusan. Lampu-lampu sorot memantul di meja kaca.

Di kursi narasumber, duduk Ketua Dewan Profesor Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Andi Pangerang Moenta SH MH DFM.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin hadir dalam program Unhas Speak Up dengan topik yang menancap di jantung kehidupan bernegara: hubungan antara hukum dan politik di Indonesia.

“Sebagai negara hukum, Indonesia menjunjung tinggi prinsip rule of law, di mana hukum memiliki kedudukan tertinggi dalam penyelenggaraan negara,” ujarnya dalam pembukaan.

Namun ia tak menutupi kenyataan bahwa di lapangan, hukum kerap bersinggungan, bahkan berbenturan, dengan kepentingan politik.

Dari sanalah mengalir pertanyaan yang menggelitik publik: Apakah hukum di Indonesia sudah benar-benar independen, atau ia masih menjadi bayang-bayang kekuasaan?

Prof Pangeran Moenta yang telah puluhan tahun ia menekuni studi hubungan hukum dan politik, menyaksikan langsung pasang surut keduanya dari era demokrasi liberal hingga reformasi.

Ia memulai dari sebuah adagium klasik: politik tanpa hukum melahirkan kesewenang-wenangan, sedangkan hukum tanpa politik menjadi lumpuh. “Keduanya harus saling bersinergi,” ujarnya. “Kalau berjalan sendiri-sendiri, justru bisa berbahaya.”

Perjalanan sejarah Indonesia menunjukkan pola hubungan yang berubah-ubah. Pada masa Demokrasi Liberal 1945–1959, politik memegang kendali penuh, membuat hukum tak cukup berdaya. Demokrasi Terpimpin di bawah kepemimpinan tunggal menenggelamkan nilai hukum di bawah otoritarianisme.

Orde Baru mencoba menata ulang, namun sentralisasi kekuasaan tetap membuat hukum berada di bawah bayang eksekutif.

Barulah di era Reformasi, Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 secara tegas menyebut Indonesia sebagai negara hukum. Namun, dalam praktiknya, politik kerap masih memegang kemudi.

Bagi Prof. Pangerang, politik seharusnya dimaknai secara positif yakni sebagai sarana mencapai tujuan luhur negara: melindungi rakyat, menyejahterakan, mencerdaskan, dan menjaga ketertiban dunia. Tapi kenyataan di lapangan sering berbeda.

Politik, kata pria kelahiran Parepare, Sulawesi Selatan pada 28 Agustus 1961 ini, terlalu sering didefinisikan secara sempit: mempertahankan kekuasaan atau menguntungkan kelompok tertentu.

“Kalau politik dan hukum bersinergi secara ideal, hasilnya sangat bagus. Tapi kalau politik disalahgunakan, hukum pun bisa ikut terseret,” tegas Ketua Umum KAHMI Makassar Periode 2021-2026 ini.

Isu yang tak kalah sensitif adalah anggapan bahwa hukum kerap menjadi alat politik. Menanggapi hal itu, Prof. Pangerang memilih berhati-hati. Dalam dunia hukum, kata dia, tuduhan hanya sah jika sudah ada putusan pengadilan yang inkracht. Sebelum itu, semuanya masih praduga.

“Masyarakat boleh beropini, kita negara demokrasi. Tapi sebagai orang hukum, saya tak bisa membenarkan tanpa bukti sah,” lanjut guru besar Bidang Ilmu Hukum Tata Negara ini.

Fenomena “tebang pilih” dalam penegakan hukum pun, menurutnya, sering kali lahir dari persepsi publik, bukan fakta hukum yang final.

Peran Penting Lembaga Hukum Negara

>> Baca Selanjutnya