MAKASSAR, UNHAS.TV - Diskursus publik terkait aksi demonstrasi yang belakangan ini ramai berlangsung di sejumlah daerah, kembali memunculkan perdebatan tentang isu makar.
Hal ini dibedah dalam program siniar Unhas Speak Up dengan menghadirkan Dosen Ilmu Politik Universitas Hasanuddin, Andi Ali Armunanto, S.Ip., M.Si, sebagai narasumber, Kamis (4/9/2025).
Menurut Ali Armunanto, istilah makar dalam politik merujuk pada tindakan yang dianggap mengancam eksistensi pemerintah atau berupaya menggulingkan sistem yang ada.
“Makar itu berarti sesuatu yang mengancam. Dalam dunia politik, diinterpretasikan sebagai upaya menggulingkan pemerintah atau mengganti sistem yang ada dengan yang baru,” ujarnya.
Ia mencontohkan, eskalasi kericuhan dalam demonstrasi tidak hanya terjadi di masa kini, tetapi juga pernah muncul di era pemerintahan sebelumnya.
“Kalau ditarik ke belakang, bahkan di era pemerintahan Jokowi ada banyak tindakan perusakan dan pembakaran fasilitas umum,” jelasnya.
"Namun belakangan ini eskalasinya begitu besar, seperti di Makassar di Gedung DPRD Makassar dan DPRD Sulsel, juga di Surabaya, Bandung, Solo, Lombok, hingga penjarahan rumah beberapa anggota dewan di Jakarta," sebut Anto --sapaan Ali Armunanto.
Fenomena tersebut menimbulkan persepsi bahwa terdapat upaya untuk merongrong kekuasaan. Andi Ali menilai pola kejadian terlihat terstruktur.
“Misalnya pembakaran terjadi bersamaan, sehingga presiden mungkin menyimpulkan hal tersebut sebagai tindakan makar. Tetapi sebenarnya masih banyak hal lain yang bisa menjadi bahan pertimbangan,” ungkapnya.
Ia menambahkan, sebelum pecahnya gelombang demonstrasi pada Agustus lalu, telah muncul serangkaian peristiwa lain, salah satunya gerakan “Indonesia Gelap”. Karena itu, ia menilai terlalu dini jika demonstrasi langsung disebut makar.
“Jangan menuduh gerakan ini sebagai gerakan makar. Kita perlu mendalami bukti yang kuat sebelum menyimpulkan. Jangan terlalu cepat menyimpulkan hanya karena ada narasi di ruang publik,” tegasnya.
Selain itu, Andi Ali juga menyinggung adanya isu-isu lain yang berseliweran di media sosial setelah 25 Agustus, di luar konteks demonstrasi.
“Selain gerakan itu sendiri, ada isu lain yang ikut tersebar, seperti soal Riza Chalid, mafia minyak. Ini membuat isu semakin melebar,” katanya.
Ia menekankan bahwa penggunaan istilah makar justru dapat memberi legitimasi aparat untuk bertindak represif terhadap demonstran.
“Saya menganggap pernyataan makar sebagai sebuah strategi untuk melegitimasi aparat bertindak keras. Akibatnya, opini masyarakat terbelah, ada yang mendukung demo dan ada pula yang mengecam,” ucapnya.
Lebih jauh, Andi Ali menyoroti bahwa akar dari demonstrasi tidak bisa dilepaskan dari kebijakan pemerintah yang dinilai elitis.
“Latar belakangnya adalah adanya kebijakan yang terlalu elitis, menguntungkan kelompok tertentu, dengan gaya hidup hedonis di tengah kesengsaraan rakyat.
"Secara gampang bisa dibedakan, mana demo yang mendiskreditkan orang tertentu, dan mana demo yang muncul dari keresahan rakyat,” jelasnya.
Ia juga menekankan pentingnya melihat siapa aktor di balik demonstrasi. “Itu bisa dilihat dari tuntutan yang jelas dan atribut yang dipakai, apakah mahasiswa, ojol, atau ormas. Semua biasanya menggunakan atribut masing-masing,” tambahnya.
Ali Armunanto mengingatkan, protes adalah salah satu instrumen demokrasi yang sah. “Kalau demonstrasi dilarang, lalu kepentingan rakyat disalurkan ke mana?
Protes adalah salah satu instrumen demokrasi. Jangan sampai label makar justru membungkam aspirasi masyarakat,” pungkasnya.
(Rahmatia Ardi / Unhas.TV)