Prof Farouk juga menyoroti banyaknya lahan berubah fungsi dari daerah resapan dan drainase menjadi daerah permukiman sehingga mengkibatkan banyak saluran drainase tersumbat.
"Banyaknya pembangunan pada daerah cekungan seperti Manggala, Biringkanaya, dan Tamalanrea tidak menjadi masalah sepanjang ada strategi penanganan banjir yang tepat. Namun, hal itu belum diatasi oleh pemerintah," ujarnya.
"Kita jangan seperti pemadam kebakaran, nanti terjadi baru kita kasat kusut. Kita antisipasi sebelum terjadi banjir. Misalnya, semua kanal drainase dibersihkan. Drain sekarang sisa 30 persen. Kalau Makassar mau aman dari banjir, kita perbanyak kolam retensi," tambahnya.
Pihak BMKG Sulsel memaparkan, curah hujan tertinggi di wiilayah ini mencapai 335 mm di Kabupaten Barru. Adapun 11 daerah lainnya ikut terdampak curah hujan tinggi seperti banjir, tanah longsor, rumah terendam dan hanyut, serta jembatan terputus.
Kepala Balai Besar Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika Wilayah IV menuturkan, hasil analisa pihaknya menemukan curah hujan Januari 2005 sedikit menurun dibanding curah hujan pada Desember 2024.
"Dasarian 1 sampai 10 Januari 2025, wilayah yang berpotensi banjir dengan kategori menengah berada di wilayah Sulawesi Selatan bagian barat. Untuk prediksi yang betul-betul valid, kami biasa melakukan tiap 7 hari," ujarnya.
Pada diskusi itu juga terungkap perubahan fungsi lahan sebagai salah satu penyebab banjir sehingga dibutuhkan perbaikan tata ruang. Pengelolaa air yang efektif juga menjadi aspek penting dalam perencanaan tata ruang perkotaan.
Peserta diskusi juga merekomendasikan kajian risiko bencana dimuat dan disahkan dalam peraturan daerah (Perda) agar masalah ini bisa diatasi dan tidak berulang.(*)
Zulkarnaen & Muhammad Syafrizal (Unhas TV)