Program-program pemberdayaan ekonomi rakyat perlu diperkuat dengan akses yang lebih mudah terhadap modal usaha dan pelatihan keterampilan. Kedua, investasi dalam pendidikan dan pelatihan vokasi harus ditingkatkan untuk mempersiapkan tenaga kerja yang adaptif terhadap perubahan teknologi.
Ketiga, sektor industri kreatif dan ekonomi digital perlu diberdayakan sebagai katup penyelamat ekonomi rakyat. Banyak Rojali dan Rohana yang sebenarnya memiliki potensi kreatif yang dapat dikembangkan menjadi sumber penghasilan melalui platform digital.
Keempat, sistem perlindungan sosial harus diperkuat untuk memberikan jaring pengaman bagi mereka yang terdampak PHK atau krisis ekonomi.
Kelima, pemerintah dan sektor swasta perlu berkolaborasi dalam menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih inklusif. Mal-mal dan pusat perbelanjaan, misalnya, dapat dirancang ulang untuk menjadi ruang komunitas yang tidak hanya komersial tetapi juga edukatif dan memberdayakan. Mereka dapat menyediakan program pelatihan, workshop keterampilan, atau ruang untuk usaha mikro dan kecil.
Solusi strategis jangka panjang juga harus mencakup diversifikasi ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada komoditas dan meningkatkan daya tahan terhadap gejolak global.
Karena konsumsi domestik tetap sekitar 55% dari PDB, setiap pengurangan berkelanjutan dalam pengeluaran konsumen juga dapat berdampak pada pertumbuhan PDB secara keseluruhan. Oleh karena itu, memperkuat daya beli masyarakat menjadi kunci utama stabilitas ekonomi nasional.
Yang tidak kalah penting adalah perubahan paradigma dalam memandang fenomena Rojali dan Rohana. Alih-alih melihatnya sebagai masalah atau anomali sosial, kita perlu memahaminya sebagai bentuk adaptasi kreatif masyarakat terhadap kondisi ekonomi yang menantang.
Mereka adalah cermin dari aspirasi dan harapan rakyat yang tidak boleh diabaikan. Survei Jobstreet menunjukkan bahwa 42% perusahaan di Indonesia melakukan PHK pada 2024, yang menjelaskan mengapa fenomena ini semakin menguat.
Pemerintah, akademisi, dan praktisi bisnis perlu duduk bersama untuk merancang strategi yang tidak hanya fokus pada pertumbuhan ekonomi makro, tetapi juga pada kualitas hidup dan kebahagiaan rakyat.
Indikator kesuksesan pembangunan tidak boleh hanya diukur dari PDB atau indeks saham, tetapi juga dari seberapa banyak masyarakat yang dapat menikmati kehidupan yang bermartabat.
Di era ketidakpastian ini, solidaritas sosial menjadi kunci. Rojali dan Rohana mengajarkan kita bahwa kebahagiaan tidak selalu harus dibeli dengan uang. Kadang-kadang, kebahagiaan itu dapat ditemukan dalam bentuk sederhana: berjalan-jalan bersama keluarga di mal, menikmati AC gratis sambil bermain dengan anak-anak, atau sekadar merasakan atmosfer kehidupan modern meski hanya sebagai penonton.
Fenomena ini juga mengingatkan kita bahwa pembangunan ekonomi harus selalu berpusat pada manusia. Teknologi dan infrastruktur adalah alat, bukan tujuan.
Tujuan sesungguhnya adalah menciptakan masyarakat yang sejahtera, bahagia, dan bermartabat. Rojali dan Rohana, dengan segala keterbatasan ekonomi mereka, tetap memiliki hak yang sama untuk merasakan kemajuan dan modernitas yang telah dicapai bangsa ini.
Ke depan, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengubah tantangan menjadi peluang. Dengan populasi yang besar, kreativitas yang tinggi, dan semangat gotong royong yang masih mengakar, bangsa ini mampu melewati masa-masa sulit dan bangkit lebih kuat. Yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang visioner, kebijakan yang pro-rakyat, dan komitmen bersama untuk membangun Indonesia yang lebih adil dan sejahtera.
Rojali dan Rohana bukan anomali yang harus dihilangkan, tetapi bagian dari mozaik sosial Indonesia yang harus dipahami dan diapresiasi. Mereka adalah reminder bahwa di balik gemerlap pembangunan dan kemajuan teknologi, masih ada jutaan rakyat yang berjuang dengan cara mereka sendiri untuk mempertahankan harapan dan dignitas. Dan dalam perjuangan itulah terletak kekuatan sejati bangsa Indonesia.
“Kemiskinan bukanlah takdir, tetapi akibat dari struktur sosial yang tidak adil. Tugas kita adalah mengubah struktur itu.” – Muhammad Yunus.(*)