News
Program
Unhas Health

Mata yang Lelah di Era Digital, Anak-anak dan Mata Minus di Usia Dini

Dokter Spesialis Mata dan Dosen FK Unhas Dr dr Ashraf Amalius SpM (K) MPH MKes. (dok unhas.tv)

UNHAS.TV - Hampir setiap detik mata kita tidak lepas dari yang namanya layar. Di ruang kerja, di ruang kuliah, hingga di ruang tidur, mata manusia modern menatap cahaya artifisial dari layar ponsel, komputer, televisi, dan tablet.

Tak heran bila Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis angka mencengangkan: lebih dari 2,2 miliar orang di dunia mengalami gangguan penglihatan. Sebagian besar di antaranya, menurut laporan itu, terkait dengan gaya hidup digital yang tidak seimbang.

“Sejak masa pandemi, penggunaan gadget meningkat tajam,” ujar dokter spesialis mata dan dosen Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin (FK Unhas) Dr. dr. Ahmad Ashraf Amalius, SpM(K), MPH, MKes, kepada Unhas TV.

“Itu artinya durasi melihat dekat juga meningkat. Maka tak heran keluhan mata lelah makin sering kita temui,” lanjut lelaki berkacamata itu dengan duduk tenang.

Keluhan mata lelah ini punya istilah medis: digital eye strain—atau sindrom kelelahan mata akibat paparan layar. Gejalanya klasik dan sering dianggap sepele: nyeri di sekitar bola mata, pandangan kabur, sakit kepala, hingga mual dan muntah bila sudah berat.

“Biasanya, pasien bilang matanya terasa kabur. Tapi begitu kita periksa, tajam penglihatannya masih normal. Itu gejala khas kelelahan mata,” kata dokter Ahmad, konsultan oftalmologi komunitas ini.

Masalahnya, kelelahan itu tidak datang tiba-tiba. Ia perlahan membentuk kebiasaan baru. “Penglihatan kita punya dua fungsi utama: melihat jauh dan melihat dekat,” jelasnya.

“Saat terlalu lama menatap dekat—layar ponsel misalnya—otot-otot mata kita terus berkontraksi. Dalam jangka panjang, otot ini bisa kelelahan dan memicu gangguan refraksi,” ungkapnya.

Dalam istilah awam, gangguan refraksi ini berarti mata minus (miopia), mata plus (hipermetropia), atau silinder (astigmatisme). Jumlah penderitanya kian meningkat, terutama di kalangan anak muda.

Seiring dengan kemajuan teknologi, muncul pula kekhawatiran terhadap paparan blue light atau cahaya biru dari layar digital. Banyak yang percaya, cahaya ini bisa merusak retina. Ahmad mengangguk pelan ketika isu itu ditanyakan.

“Di belakang retina kita ada lapisan khusus yang fungsinya menyerap cahaya. Cahaya berlebihan bisa menjadi toksik terhadap penglihatan. Termasuk cahaya biru dari layar monitor,” jelas dokter anggota dari Persatuan Dokter Spesialis Mata Indonesia (Perdami) ini. 

Paparan jangka pendek mungkin hanya menyebabkan mata lelah. Tapi dalam jangka panjang, ada risiko kerusakan retina. “Mata manusia tidak dirancang untuk terus-terusan menatap sumber cahaya buatan dari jarak sangat dekat,” kata Ahmad.

Dampaknya tak berhenti di mata. Cahaya biru juga berpotensi mengacaukan ritme sirkadian tubuh. Banyak penelitian menunjukkan paparan cahaya layar sebelum tidur dapat menghambat produksi melatonin, hormon pemicu rasa kantuk.

“Akhirnya tidur pun terganggu,” ujar Dosen Department of Ophthalmology Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin ini.

Anak-anak dan Mata Minus Dini

Pandemi COVID-19 membawa kebiasaan baru, hadirnya pembelajaran jarak jauh. Di Makassar, seperti di banyak kota lain, anak-anak menghabiskan berjam-jam menatap layar gadget.

Setelah kelas daring selesai, permainan digital menunggu di ujung jari. “Itu semua aktivitas penglihatan dekat,” ujar Ahmad.

Dampaknya mulai terasa. Semakin banyak anak usia sekolah datang ke klinik mata dengan keluhan rabun jauh. Menurut Ahmad, pada masa pandemi saja durasi penggunaan gadget bisa mencapai 6 jam per hari.

“Kalau ini dilakukan setiap hari tanpa istirahat, otot mata akan kelelahan,” katanya. “Dan dari kelelahan itu, bisa berkembang menjadi kelainan refraksi.”

WHO sudah memberi panduan sederhana: aturan 20-20-20. Setiap 20 menit menatap layar, istirahatlah 20 detik, dan arahkan pandangan ke objek sejauh 20 kaki (sekitar 6 meter). “Teknik ini merilekskan otot mata,” jelas Ahmad. “Sederhana tapi sangat efektif.”

Selain durasi, jarak juga penting. “Idealnya 25–30 sentimeter dari mata,” kata Ahmad. “Dan ruangan harus punya pencahayaan yang cukup—tidak remang-remang, tidak terlalu terang.”

Sayangnya, kebiasaan masyarakat justru berlawanan. Banyak orang bermain ponsel sambil rebahan di kamar gelap. “Dalam posisi tidur, kita tak bisa menjaga jarak ideal itu,” ujarnya. “Semakin dekat jarak pandang, otot mata makin tegang.”

Faktor lain yang sering luput diperhatikan adalah posisi tubuh dan kondisi ruangan. Ahmad menjelaskan, posisi layar yang terlalu tinggi atau terlalu rendah dapat memicu ketegangan pada leher dan pundak—yang pada akhirnya memperberat kelelahan mata.

Lalu, ada pula faktor udara. “AC atau kipas angin yang langsung mengarah ke mata akan mempercepat penguapan lapisan air mata,” kata Ahmad. “Inilah penyebab umum dry eye syndrome atau mata kering.”

Mata kering kronis kini banyak dialami anak muda, terutama mereka yang bekerja atau belajar di depan layar selama berjam-jam. “Saat fokus ke layar, refleks berkedip menurun,” jelasnya. “Padahal berkedip itu penting untuk menyebarkan air mata secara merata.”

Akibatnya, mata terasa perih, kering, bahkan memerah. Sebagian pasien mengira matanya terkena infeksi. Padahal, tubuh mereka hanya memberi sinyal kelelahan.

Mitos dan Fakta tentang Kacamata

>> Baca Selanjutnya