MAKASSAR, UNHAS.TV - Dalam olahraga lari, khususnya lari jarak jauh seperti maraton dengan jarak tempuh 42,195 kilometer, memang menyehatkan dan makin populer di berbagai kalangan. Namun, di balik manfaatnya, lari intensif juga menyimpan risiko tersembunyi.
Salah satunya serangan jantung mendadak yang bisa terjadi bahkan pada pelari yang tampak sehat. Karena itu, pemahaman tentang pertolongan pertama menjadi krusial, terutama saat insiden terjadi di tengah lintasan.
Dokter spesialis bedah toraks kardiak dan vaskular, dr. Umar Usman, M.Ked, K.Lin, Sp.BTKV, Subsp. T(K), menyampaikan pentingnya pelatihan bantuan hidup dasar bagi siapa saja, bukan hanya tenaga medis. Ia yang juga seorang pelari maraton ini menggarisbawahi bahwa pelatihan seperti ini bukan hanya untuk dokter atau perawat.
“Ilmu ini bukan hanya untuk dokter. Siapapun, pekerja kantor, tukang becak, siapa saja, perlu tahu pertolongan pertama jika terjadi henti jantung atau napas di sekitar kita,” ungkap dr. Umar, dalam Sharing Session di kegiatan Shake Out Run yang digelar oleh komunitas 09 Runners bersama panitia Makassar Half Marathon (MHM) 2025 di kafe Plazgozz, Jl. AP Pettarani Makassar, Kamis pagi (29/5/2025).
Mengutip sebuah penelitian, dr. Umar mengungkap bahwa dari 215.000 pelari maraton, tercatat empat kasus kematian mendadak. Tiga di antaranya disebabkan oleh penyempitan arteri koroner—pembuluh darah utama jantung. Satu lainnya karena kelainan anatomi koroner.
Tak hanya pada orang tua, kematian mendadak juga dapat terjadi pada atlet muda. Penelitian tentang Sudden Cardiac Death in Young Athletes menunjukkan bahwa meskipun langka, risiko ini tetap ada. Penyebab utamanya adalah ventricular fibrillation, gangguan irama jantung yang membuat jantung berhenti memompa secara efektif.
“Ini bukan soal overtraining, tapi over limit. Saat lomba, pelari sering memaksa tubuh hingga 110% dari kapasitasnya,” ungkapnya yang tengah mempersiapkan diri untuk berlari di Chicago Marathon 2025.
Selain serangan jantung, pelari juga berisiko mengalami hiponatremia (gangguan elektrolit) dan heat stroke (sengatan panas). Meskipun kejadiannya jarang, dr. Umar menekankan pentingnya mengenali gejala awal dan bertindak cepat.
“Kalau kejadian ini terjadi di depan mata, kita harus tahu bagaimana menolong. Jangan langsung panik atau hanya angkat telepon,” tegas dr. Umar yang sehari-hari bertugas di Siloam Hospitals Makassar dan RS Otak dan Jantung Pertamina Royal Makassar.
Bantuan Hidup Dasar: Ilmu Menyelamatkan Nyawa
Sharing Session yang diberikan dalam acara ini mengajarkan teknik Bantuan Hidup Dasar (BLD), terutama dalam dua kondisi kritis: henti napas dan henti jantung.
“Setiap menit tanpa pertolongan mengurangi peluang selamat 7–10 persen. Tapi jika kita bisa melakukan CPR (resusitasi jantung paru) segera, angka itu turun jadi 3–4 persen,” ujar dr. Umar.
Ia juga menjelaskan konsep “mati klinis” versus “mati biologis”. Mati klinis adalah kondisi ketika napas dan detak jantung berhenti, namun masih bisa diselamatkan. Tanpa pertolongan, kondisi ini akan berkembang menjadi mati biologis, kematian permanen akibat kerusakan otak.
dr. Umar memperkenalkan metode DRSCAB, langkah-langkah awal dalam menolong korban. Langkah-langkah itu terdiri dari D (Danger) yang bermaksud memastikan lokasi aman sebelum melakukan pertolongan, dengan menjunjung prinsip Safety First is Safety Always. Kedua R (Response), yakni memeriksa kesadaran korban, dengan cara memanggil, menyentuh, atau memberikan rangsangan. Yang ketiga S (Shout for help) atau meminta bantuan, baik kepada orang sekitar terutama mereka yang memiliki kemampuan medik seperti perawat atau dokter, maupun menelpon Rumah Sakit. Keempat yakni C (Circulation) atau mengecek denyut nadi dengan menggunakan jari di leher atau pun di lengan. Lalu A (Airway), yakni memastikan jalan napas terbuka, lidah korban tidak tertelan, dan jalan napas tidak tersumbat cairan. Yang keenam yakni B (Breathing) maksudnya memeriksa pernapasan dengan dilihat apakah dadanya mengembang saat bernapas dan dirasa, apakah ada hembusan napas dari hidung.
Ia juga menekankan pentingnya teknik membuka jalan napas seperti head tilt-chin lift, dan menjelaskan cara mengecek denyut nadi dan tanda napas pada korban yang tidak sadar.
Jika pada korban ditemukan kondisi tidak bernapas dan nadi tidak teraba, maka dilakukan pemijatan jantung luar yang dikenal dengan Cardiopulmonary Resuscitation (CPR) atau Resusitasi Jantung Paru (RJP).

dr. Umar pun menjelaskan teknik CPR dengan mensyaratkan sejumlah kondisi, seperti melakukan tekanan di dada 100 kali dalam satu menit (laju kompresi), kedalaman tekanan 4-5 centimeter, recoil dada yang bermakna dinding dada kembali ke posisi normal sepenuhnya setelah setiap kompresi dada, serta minimal interupsi, yang berarti meminimalkan jeda atau gangguan pada saat melakukan kompresi dada. Dan CPR dihentikan apabila didapati nadi-napas, atau bantuan dari tim medis telah tiba, atau pun upaya CPR telah dilakukan selama 30 menit namun belum terlihat nadi-napas.
"Kita bisa cek kembali keduanya, nadi-napas, itu yang dicari, nadi-napas, kalau ada napas dan denyut nadi kita miringkan untuk recovery position biar terbuka saluran napasnya," jelasnya.
Dengan semangat edukatif dan penuh semangat khas pelari maraton, dr. Umar mengajak semua peserta untuk tidak hanya menjadi pelari yang tangguh, tetapi juga manusia yang siap menolong.
“Meninggal itu bukan urusan kita. Tapi menolong adalah kewajiban. Kalau bukan kita yang bantu, siapa lagi?” tutup pengajar di Prodi Bedah Toraks Kardiak dan Vaskular Universitas Hasanuddin ini.
Peserta sharing session yang merupakan alumni Fakultas Teknik Unhas yang memiliki kegemaran berlari ini, tak hanya antusias mendengarkan pemaparan dari dr. Umar, namun mereka juga aktif bergantian memeragakan teknik CPR yang benar pada manikin CPR. (*)