oleh: Yusran Darmawan
Di tanah yang menghadap laut di ujung tenggara Sulawesi, puisi bukan sekadar suara hati. Ia adalah hukum, nasihat, dan juga pagar. Di Baubau, kota yang dulu menjadi pusat Kesultanan Buton, manusia belajar menjaga tubuh dan cinta melalui syair.
Salah satunya adalah Kabanti Kaluku Panda Atuwu Inuncana Dempa (Kelapa Pendek yang Tumbuh di Batu Cadas), warisan sastra lama yang berbicara tentang seks, cinta, dan tanggung jawab—dengan cara yang tidak gegas, tidak vulgar, tapi menukik.
Kabanti adalah tradisi lisan dan tulisan yang berupa nyanyian atau syair di seluruh wilayah Kesultanan Buton. Pelantunnya disebut Pekabanti'. Tradisi kabanti ini muncul ketika penyebaran agama Islam di Buton sedang gencar-gencarnya, termasuk melalui budaya tulis menulis. Inilah sebab mengapa kabanti ditulis dengan menggunakan aksara Arab, Arab Melayu, dan Aksara Walio
Kabanti Kaluku Panda dibuat oleh La Kobu (Yarona La Buandairi) yang bergelar Petapasina Baadia yang berarti yang memperbaiki kehidupan orang Baadia di bidang seks atau yang menanamkan adab seks di dalam masyarakat Baadia (Kraton Buton). La Kobu hidup pada masa pemerintahan Sultan Idris Kaimuddin, yang menjabat tahun 1824-1851.
Di suatu malam, saya membaca naskah kabanti ini dengan pelan. Sebab dalam tiap bait, tersembunyi sesuatu yang lebih dalam dari sekadar larik puitis. Ada doa. Ada teguran. Ada cara leluhur berbicara pada anak cucunya tanpa harus menunjuk dan memerintah. Mereka menulis dengan lambang, menyampaikan dengan nada rendah, tapi sarat arti.
Syair tentang Seks
Kupebaangi kusarongi Akbaru (Kubermula menyebut keagungan, Kuangkat tinggi nama Tuhan Maha Besar...)
Dalam masyarakat Buton, seks tak pernah berdiri sendiri. Ia bukan hanya tentang tubuh. Ia adalah bagian dari keagungan. Karena itu, bait pertama dalam Kabanti ini tak berbicara tentang lelaki dan perempuan, tapi tentang Tuhan.
Tentang pengakuan atas kehadiran Yang Maha Kuasa sebelum bicara soal gairah dan keinginan. Dalam dunia yang hari ini ramai dengan konten yang menanggalkan makna, bait semacam ini terdengar asing—tapi justru karena itu, terasa penting.
Seks tak sekadar kegiatan ragawi. Ia adalah jalan menuju kasih sayang yang dalam dan rahmat yang luas. Tapi syaratnya, tubuh harus dijaga. Nafsu harus disaring. Ada masa yang disebut “baligh”, saat seseorang bertemu dirinya yang baru: tubuh yang menggeliat, akal yang gelisah.
Boli osea parinta inia itu / Osiytumo kawujuna syetani (Janganlah turuti perintah buruk itu, itulah bujuk rayu setan iblis)
Kita hidup dalam dunia yang merayakan kebebasan, tapi lupa pada disiplin. Segala yang menyenangkan diasumsikan sah. Tapi masyarakat Buton menolak premis itu.
>> Baca Selanjutnya