MAKASSAR, UNHAS.TV – Di tengah geliat pembangunan Kota Makassar yang kian pesat, suara kritis datang dari Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Hasanuddin (PSLH). Lembaga riset yang diketuai oleh Prof. Dr. Anwar Daud, SKM.,M.Kes, salah satu akademisi paling disegani di bidang lingkungan, menegaskan penolakannya terhadap rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di kawasan Tallasa City, tepat di sisi jalan tol utama, Makassar.
Bagi Prof. Anwar Daud, lokasi itu bukan sekadar titik di peta, melainkan ruang hidup ribuan masyarakat yang tinggal di kompleks perumahan seperti Alamanda dan Citraland. “Pembangunan fasilitas besar di area padat penduduk akan berdampak langsung pada kesehatan masyarakat dan kelancaran lalu lintas. Kita bicara soal kualitas udara, risiko pencemaran, hingga keselamatan warga,” ujarnya pada saat diskusi terbatas di PSL-Unhas (23/9).
Jejak Panjang Sang Akademisi Lingkungan
Nama Prof. Anwar Daud sudah lama dikenal dalam dunia studi lingkungan, baik di tingkat lokal Sulawesi Selatan maupun di forum nasional. Ia bukan hanya seorang pengajar, tetapi juga peneliti yang konsisten mengadvokasi tata ruang berkelanjutan dan pengelolaan lingkungan berbasis masyarakat.
Di bawah kepemimpinannya, PSLH Unhas terlibat dalam berbagai kajian strategis, mulai dari penelitian kualitas udara Makassar, analisis daya dukung lingkungan Sulawesi Selatan, hingga keterlibatan dalam penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) provinsi. Ia juga kerap diminta menjadi narasumber dalam perumusan kebijakan lingkungan di tingkat kementerian.
Prestasinya tak berhenti di ruang akademik. Prof. Anwar adalah sosok yang mampu menjembatani ilmu pengetahuan dengan kebijakan publik. Ia pernah memimpin tim kajian yang menyoroti dampak reklamasi pantai di Makassar, sekaligus mendorong solusi berbasis ekologi perkotaan yang lebih ramah lingkungan.
Makassar dan Tantangan Kota Masa Depan
Makassar, kota metropolitan di jantung Indonesia timur, menghadapi dilema besar: bagaimana menyeimbangkan percepatan pembangunan dengan kualitas lingkungan hidup. Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukkan jumlah penduduk Makassar telah menembus 1,48 juta jiwa, dengan laju urbanisasi yang terus meningkat. Lonjakan ini memicu tekanan besar pada infrastruktur, ketersediaan ruang terbuka hijau, dan kualitas udara.
Di sisi lain, laporan Indeks Kualitas Udara (AQI) 2025 menempatkan Makassar dalam kategori moderate terkait polusi udara, tetapi tren meningkatnya emisi kendaraan bermotor dan pembangunan padat memicu kekhawatiran para ahli.
Dalam konteks itu, PSLH Unhas mengajukan visi berbeda. “Kota masa depan bukan hanya tentang gedung tinggi atau jalan tol yang mulus. Kota ramah lingkungan adalah kota yang memberi ruang bagi manusia untuk hidup sehat, bergerak bebas, dan bernapas lega,” terang Prof. Anwar.
Alternatif Ramah Lingkungan
Menolak PLTSa di Tallasa City bukan berarti menutup mata dari masalah sampah. Menurut PSLH Unhas, solusi bisa diarahkan pada pengelolaan berbasis sirkular ekonomi: daur ulang, pengurangan sampah dari sumbernya, serta pemanfaatan teknologi pengomposan modern.
Lebih jauh, Prof. Anwar menekankan pentingnya memilih lokasi yang lebih tepat secara ekologis dan tata ruang. “Sebaiknya pembangunan PLTSa ditempatkan di kawasan Mamminasata, tepatnya di Kecamatan Parangloe, karena posisinya strategis untuk mengcover tiga wilayah sekaligus: Kota Makassar, Kabupaten Gowa, dan Kabupaten Maros,” tandasnya. Menurutnya, dengan lokasi tersebut, manfaat PLTSa lebih luas, sementara risiko bagi permukiman padat bisa diminimalisasi.
Pemerintah Kota Makassar sebenarnya telah memiliki program “Makassar Tidak Rantasa” (MTR) yang mengusung pengurangan sampah rumah tangga. PSLH menilai program ini perlu diperkuat dengan dukungan riset dan kebijakan jangka panjang. “Dengan strategi ini, kita tidak hanya mengurangi sampah, tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru bagi masyarakat,” kata Prof. Anwar.

Ilustrasi ini menggambarkan visi Kota Makassar yang ramah lingkungan di masa depan, selaras dengan pandangan dari Pusat Studi Lingkungan Hidup (PSLH) Unhas dan Prof. Dr. Anwar Daud. Kota ini bukan hanya tentang gedung pencakar langit, tetapi juga tentang keberlanjutan dan kualitas hidup warganya.
Harapan bagi Warga dan Generasi Muda
Bagi masyarakat sekitar Tallasa City, suara PSLH adalah napas segar. Kekhawatiran mereka tentang dampak kesehatan kini mendapatkan legitimasi dari lembaga akademik yang kredibel. Di sisi lain, generasi muda Makassar mulai melihat bahwa kota ini tidak boleh hanya dikejar dalam hitungan proyek, melainkan dibangun dengan visi ekologis.
Sebagai tokoh publik, Prof. Anwar Daud meyakini bahwa kampus memiliki tanggung jawab moral untuk menjaga keberlanjutan kota. “Unhas bukan menolak pembangunan, tetapi menegaskan pembangunan harus berpihak pada manusia dan lingkungan. Itu prinsip yang tidak bisa ditawar,” tegasnya.
Keteguhan PSLH Unhas dan Prof. Anwar Daud dalam menolak PLTSa di Tallasa City sekaligus menawarkan solusi di kawasan Mamminasata adalah cermin dari komitmen akademisi pada kepentingan masyarakat luas. Di saat Makassar berlari mengejar status kota modern, suara ini mengingatkan: pembangunan sejati adalah yang menghadirkan keberlanjutan, bukan sekadar simbol kemajuan.
Jika kota ramah lingkungan benar-benar diwujudkan, maka Makassar tidak hanya akan dikenal sebagai pusat perdagangan di Indonesia Timur, tetapi juga sebagai teladan metropolitan hijau bagi Nusantara.(*)