Opini

Qutb al-Wujud dan Ekologi Transenden (Tafsir Lintas Kitab atas Kesalehan Paripurna)

Khusnul

Oleh: Khusnul Yaqin*

Ketika Nabi Ibrahim bermunajat dalam keheningan jiwanya, ia mengucap sebuah doa yang ringkas namun mengguncang kesadaran spiritual manusia sepanjang zaman:

رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ

"Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku hikmah dan golongkanlah aku bersama orang-orang yang saleh." (QS. Asy-Syu‘ara: 83)

Dan ketika Nabi Yusuf telah melewati episode hidup yang penuh liku, dari sumur gelap hingga singgasana Mesir, ia tak meminta kekuasaan yang lebih tinggi. Sebaliknya, ia bermohon:

تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ

"Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku bersama orang-orang yang saleh." (QS. Yusuf: 101)."
Mengapa dua nabi besar, yang keduanya telah mencapai derajat kenabian dan kesalehan yang tinggi, masih memohon untuk digolongkan bersama orang-orang saleh? Bukankah mereka sendiri adalah lambang kesalehan itu? Pertanyaan ini membawa kita pada sebuah perenungan mendalam tentang struktur nilai dalam keberadaan manusia dan keterhubungannya dengan alam semesta. Tafsir al-Mīzān karya Allamah Thabathaba’i memberi isyarat bahwa kesalehan bukanlah status yang statis. Ia adalah maqam, kedudukan ruhani, yang berlapis-lapis sesuai dengan kedekatan eksistensial seseorang kepada sumber wujud: Allah. Maka, permohonan "wa alhiqni bis shalihin" menjadi semacam rindu eksistensial untuk digabungkan ke dalam spektrum paling tinggi dari kesalehan—yaitu shalihin yang paripurna.

Konsep Tashkik al-Wujud (tingkatan wujud)diperkenalkan oleh Mulla Sadra, seorang filsuf Islam yang terkenal. Konsep ini menjelaskan bahwa wujud bukanlah satu dan tunggal, melainkan memiliki berbagai tingkatan eksistensi yang berbeda-beda. Credit: Pinterest.
Konsep Tashkik al-Wujud (tingkatan wujud)diperkenalkan oleh Mulla Sadra, seorang filsuf Islam yang terkenal. Konsep ini menjelaskan bahwa wujud bukanlah satu dan tunggal, melainkan memiliki berbagai tingkatan eksistensi yang berbeda-beda. Credit: Pinterest.


Inilah yang dijelaskan secara filosofis oleh Mulla Sadra melalui konsep tashkik al-wujud (gradasi wujud). Dalam kerangka ini, semua realitas adalah wujud, dan wujud hadir secara bertingkat dari yang paling lemah hingga yang paling kuat, dari yang jauh hingga yang dekat kepada al-Haqq. Maka, kesalehan yang merupakan manifestasi spiritual dari wujud juga harus dimaknai sebagai tingkatan yang berjenjang. Ada yang saleh sebagai orang baik biasa, dan ada yang saleh karena telah menyatu dengan poros ruhani semesta. Uniknya, Nabi Ibrahim tidak langsung meminta digabungkan dengan orang saleh. Ia terlebih dahulu bermohon: رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا — "Ya Tuhanku, anugerahkanlah aku hikmah..." Baru kemudian dilanjutkan: "wa alhiqni bis shalihin." Ini memberi pesan tegas bahwa maqam shalih yang paripurna tidak bisa diraih tanpa hikmah. Hikmah bukan sekadar ilmu, tetapi kebijaksanaan yang dilimpahkan Allah melalui pancaran cahaya-Nya—sebuah intuisi spiritual yang hanya dianugerahkan kepada mereka yang suci dan tulus dalam suluk ruhani.

>> Baca Selanjutnya