Opini

Raja Ampat di Ujung Tanduk: Antara Keindahan dan Ancaman Tambang



Lukisan purba di dinding karst Misool, Raja Ampat, menjadi saksi bisu peradaban manusia yang telah menghuni wilayah ini sejak ribuan tahun silam—jejak tangan dan figur abstrak yang menghubungkan masa lalu dengan kekayaan budaya Papua masa kini. Kredit: Raja Ampat Geopark.
Lukisan purba di dinding karst Misool, Raja Ampat, menjadi saksi bisu peradaban manusia yang telah menghuni wilayah ini sejak ribuan tahun silam—jejak tangan dan figur abstrak yang menghubungkan masa lalu dengan kekayaan budaya Papua masa kini. Kredit: Raja Ampat Geopark.


Green Mining: Solusi atau Sekadar Jargon?

Jika konsep green mining benar-benar diterapkan, maka eksploitasi tambang di Raja Ampat seharusnya memastikan tidak ada pencemaran laut dan ekosistem terumbu karang, termasuk sedimentasi yang dapat merusak biodiversitas. Selain itu, perusahaan tambang harus melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan, bukan hanya sebagai penerima dampak. Reklamasi dan rehabilitasi lingkungan juga harus dilakukan secara transparan, dengan pengawasan independen, serta menggunakan teknologi rendah emisi dan minim limbah, bukan sekadar memenuhi standar minimum regulasi.

Namun, hingga saat ini, belum ada bukti kuat bahwa tambang di Raja Ampat menerapkan prinsip green mining secara optimal. Bahkan, beberapa aktivis lingkungan menyoroti bahwa reklamasi tambang sering kali hanya bersifat administratif, tanpa pemulihan ekosistem yang nyata.

Pariwisata Raja Ampat: Pilar Ekonomi yang Terancam

Sebagai salah satu destinasi wisata bahari paling terkenal di dunia, Raja Ampat telah menjadi tulang punggung ekonomi lokal. Keindahan alamnya menarik wisatawan dari berbagai negara, terutama untuk aktivitas selam dan ekowisata, yang memberikan kontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD).

Pada tahun 2024, sektor pariwisata Raja Ampat menyumbang sekitar Rp 150 miliar per tahun bagi PAD, dengan 30.000 kunjungan wisatawan, di mana 70% di antaranya adalah wisatawan mancanegara. Wisatawan yang datang ke Raja Ampat tidak hanya menghabiskan uang untuk akomodasi dan transportasi, tetapi juga mendukung ekonomi masyarakat lokal melalui homestay, jasa perahu, pemandu wisata, serta usaha kerajinan tangan.

Namun, ekspansi industri tambang di Raja Ampat berpotensi merusak ekosistem yang menjadi daya tarik utama wisatawan. Kerusakan terumbu karang, pencemaran air, dan hilangnya keanekaragaman hayati dapat menurunkan minat wisatawan, mengurangi pendapatan sektor pariwisata, dan mengancam mata pencaharian masyarakat setempat yang bergantung pada industri ini.

Menurut laporan WWF, potensi ekonomi berkelanjutan dari sektor kelautan dan pariwisata di Raja Ampat diperkirakan mencapai Rp 1,7 triliun per tahun, jika dikelola dengan prinsip konservasi. Angka ini jauh lebih besar dan tahan lama dibandingkan kontribusi jangka pendek dari pertambangan nikel.

Selain dampak ekonomi langsung, pariwisata juga berperan dalam pelestarian budaya dan kesejahteraan masyarakat adat. Dengan berkembangnya ekowisata berbasis komunitas, masyarakat lokal memiliki kesempatan untuk mempertahankan tradisi mereka sambil mendapatkan manfaat ekonomi. Namun, jika aktivitas tambang terus berlanjut, maka struktur sosial masyarakat adat bisa terganggu, tanah ulayat berisiko hilang, dan konflik horizontal dapat meningkat.

Kesimpulan: Transparansi dan Pengawasan adalah Kunci

Perdebatan mengenai tambang di Raja Ampat bukan hanya soal ekonomi vs. lingkungan, tetapi juga soal transparansi dan akuntabilitas. Jika perusahaan tambang benar-benar menerapkan green mining, maka mereka harus membuka data lingkungan secara publik, melibatkan masyarakat adat dalam pengambilan keputusan, dan memastikan bahwa ekosistem Raja Ampat tetap terjaga. 

Salah satu implementasi dari Green Mining di sektor budaya yaitu, perusahaan tambang harus memiliki dokumen Cultural Heritage Management Plan (CHMP) yang memuat panduan pengelolaan dan pelestarian warisan budaya, sebagai komitmen perusahaan terhadap pelestarian warisan budaya. Tanpa langkah konkret, klaim green mining bisa menjadi sekadar jargon industri tanpa dampak nyata bagi kelestarian Raja Ampat.

*Dosen Departemen Arkeologi FIB Unhas, Ketua Prodi Destinasi Pariwisata Fakultas Vokasi Unhas, Peneliti di Pusat Kolaborasi Riset Arkeologi Sulawesi, Pusat Kajian Geopark Universitas Hasanuddin dan Dewan Pakar di Badan Pengelola Maros Pangkep Unesco Global Geopark.