Watch Unhas TV Live
Watch Unhas TV Live
Opini

OPINI: Segitiga Ramadhan

Darmadi Tariah11 Mar, 2024
Dr. Muhsin Labib, Direktur Moderate Institute

Oleh: Dr. Muhsin Labib (Direktur Moderate Institute, Jakarta)

Iman, puasa dan takwa adalah tiga kata kunci dalam ayat “Wahai orang-orang beriman diwajibkan atas kamu sekalian berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu sekalian supaya bertakwa” (QS. Al-Baqarah: 183).

Dalam pengertian umum, iman adalah buah kepercayaan yang merupakan buah pengetahuan valid tentang sesuatu. Pengetahuan adalah buah pemikiran yang valid. Disebut valid karena aksiomatik atau apriori atau bersambung kepada premis yang telah dikonfirmasi oleh premis apriori. Proses ini ditetapkan dalam logika.

IMAN

Dalam pengertian khusus, iman adalah frasa kepercayaan vertikal, bukan semua kepercayaan dan bukan semua pengetahuan. Pengetahuan secara umum meliputi semua buah pemikiran dengan objek horisontal (material) dan objek vertikal (imateriel).

Malah, kebanyakan orang menganggap pengetahuan sebagai buah persepsi sensual semata, yang lazim disebut sains. Sedangkan pengetahuan tentang objek imateriel terlanjut dianggap kebanyakan orang sebagai nir pengetahuan. Karena itulah kata “iman” atau faith dianggap oleh kebanyakan orang sebagai kepercayaan tanpa argumen. Inilah doktrin.

Iman sebagai kepercayaan vertikal bukan sekadar pengetahuan dengan akal namun memerlukan sarana lain, yaitu hati. Iman memerlukan akal yang memproduksi pikiran-pikiran dan memerlukan hati yang menerbitkan cinta. Akal mentautkan diri dengan konsep (apa) dan hati mengaitkan diri dengan realitas di balik konsep (siapa). Sebagai contoh, akal mengarahkan subjek kepada kenabian (konsep tentang kemestian adanya mediasi suci antara Tuhan dan hamba-hambaNya), sedangkan hati mengarahkan subjek kepada sosok real nabi.

Iman dan kufur sebagai lawan utamanya, juga dapat dilihat dari perspektif kedua sebagai buah kepercayaan dalam pengertian umum. Dalam perspektif ini, iman dan kufur bersifat netral, bisa positif dan bisa negatif mengikuti alasan, cara dan objeknya.

Secara logis, iman atau kepercayaan kepada sesuatu meniscayakan penolakan terhadap lawan dari sesuatu yang dipercaya. Karena itu, mukmin pastilah kafir. Orang-orang beriman kepada Allah adalah orang-orang kufur kepada manusia yang berlagak Tuhan. Artinya, dalam perspektif ini, setiap mukmin pastilah kafir dan sebaliknya.

Dari perspektif lain, iman adalah buah pengetahuan yang tentang sesuatu yang imateriel. Iman berkaitan dengan beberapa elemen. Salah satunya adalah objek yang diimani. “Yu’minu billah” dalam al-Quran yang diindonesiakan sebagai “beriman kepada Allah” menyisakan ambiguitas, karena “kepada” mengungkapkan kaitan dengan objek yang telah dipercaya sebelumnya, seperti kata Inggris “trust“. “Percaya kepadamu” berarti mempercayaimu sebagai orang jujur dan setia atau dapat diandalkan.

Apakah “yu’minu billah” (iman kepada Allah) sama atau searti dengan percaya kita kepada teman atau mitra bisnis sehingga berarti “percaya kepada zat maha sempurna yang diberi nama Tuhan?” Ataukah “yu’minu billah” berarti “iman tentang wujud Allah?” Tentulah kita percaya kepada teman setelah percaya dia sebagai manusia dan percaya bahwa adalah sosok nyata yang ada.

Beriman kepada zat Tuhan Yang Mahasempurna hanya bisa terjadi setelah beriman bahwa ada wujud tunggal yang merupakan sebab bagi semua yang ada. Itu artinya, kepercayan dan iman tentang ketuhanan bersumber dari kepercayaan tentang hakikat wujud atau eksistensi.

Mustahil kita bisa mempercayai adanya Tuhan tanpa lebih dulu percaya tentang ada dan keberadaan. Mengetahui tentang ada dan keberadaan mestinya bermula dari pengetahuan tentang aksi mengetahui dan hierarki pengetahuan. Iman yang bermula dari iman tentang pengetahuan, berlanjut dengan pengetahuan tentang keberadaan lalu berujung pada pengetahuan tentang Tuhan. Itulah hierarki iman.

HALAMAN BERIKUTNYA

1 2 3