Oleh: Wahyu Chandra*
Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi, gabungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil, meluncurkan kertas kebijakan berjudul Sulawesi Lumbung Polusi: Hilirisasi Nikel dan Runtuhnya Tatanan Sosial-Ekologis di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan, menyoroti secara tajam dampak destruktif dari industri nikel yang berkembang pesat dalam kurun waktu kurang dari satu dekade.
Muhammad Al Amin, dinamisator Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi, mendesak agar Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 direvisi, terutama pasal yang memberikan pengecualian bagi pembangunan PLTU industri.
Sejak pembangkit dan smelter PLTU milik PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) di Sulawesi Tengah beroperasi, kualitas udara di sekitarnya memburuk secara drastis. Debu hitam menyelimuti permukiman, kendaraan berat lalu-lalang tanpa henti, dan tumpukan batubara dibiarkan terbuka tanpa pelindung.
***
Di Konawe, Sulawesi Tenggara, PLTU berbasis batubara di wilayah ini menjadi sumber utama polusi. Di Sulawesi Selatan, aktivitas pertambangan dan PLTU tetap menimbulkan dampak serius bagi komunitas pesisir dan petani lokal. Pencemaran udara dan air, serta potensi konflik lahan mulai menjadi perhatian warga dan aktivis lingkungan di sana.
Suara deru truk tambang dan pekatnya asap dari cerobong pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) telah menjadi bagian dari lanskap sehari-hari masyarakat di berbagai wilayah Sulawesi.
Di balik narasi besar transisi energi dan hilirisasi industri nikel, terhampar kenyataan pilu yang dialami masyarakat lokal, mulai dari kerusakan lingkungan, konflik agraria, krisis kesehatan, dan kriminalisasi terhadap para pembela hak asasi manusia dan lingkungan.
Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi, gabungan dari berbagai organisasi masyarakat sipil, meluncurkan kertas kebijakan berjudul Sulawesi Lumbung Polusi: Hilirisasi Nikel dan Runtuhnya Tatanan Sosial-Ekologis di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Selatan.
Dalam dokumen tersebut, mereka menyoroti secara tajam dampak destruktif dari industri nikel yang berkembang pesat dalam kurun waktu kurang dari satu dekade. Meski industri ini diklaim sebagai pilar penting dalam menuju transisi energi, warga lokal justru dipaksa menanggung beban sosial dan ekologis yang berat.
“Kami tidak sedang menyaksikan kemajuan, melainkan kehancuran ekologis yang masif dan tersistemik,” ujar Muhammad Al Amin, dinamisator Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi, dalam konferensi pers secara daring dan luring di Jakarta pada Rabu, 21 Mei 2025.
Koalisi yang terdiri dari warga terdampak dan organisasi masyarakat sipil (CSO) itu menyampaikan langsung tuntutan mereka kepada Kementerian ESDM dan Perindustrian. Sayangnya, pejabat tinggi yang diharapkan hadir tidak menemui mereka.
Dalam sesi tersebut, Amin mendesak agar Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 direvisi, terutama pasal yang memberikan pengecualian bagi pembangunan PLTU industri. Menurutnya, hampir seluruh smelter pengolahan nikel di Indonesia masih bergantung pada energi kotor batubara, yang izinnya berada di bawah pengawasan Kementerian ESDM dan Perindustrian.
“Kami meminta ada political will untuk menghentikan pembangunan PLTU captive baru di Sulawesi,” tegasnya.
Kondisi yang terjadi di Morowali, Sulawesi Tengah, menjadi salah satu potret nyata dari krisis ini. Ramadhan Annas, warga Desa Ambunu, tinggal hanya 100 meter dari PLTU milik PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP).
Sejak pembangkit dan smelter beroperasi, kualitas udara di sekitarnya memburuk secara drastis. Debu hitam menyelimuti permukiman, kendaraan berat lalu-lalang tanpa henti, dan tumpukan batubara dibiarkan terbuka tanpa pelindung.
Data dari Puskesmas Wosu menunjukkan peningkatan tajam kasus ISPA: dari 735 kasus pada 2021 melonjak menjadi 1.200 kasus pada 2022, dan mencapai 1.148 kasus pada 2023. “Debu dari PLTU dan smelter ini merampas hak kami untuk bernapas dengan aman,” tutur Ramadhan.
Ia juga mengungkap bagaimana lahan warga dirampas tanpa ganti rugi yang adil, laut yang menjadi sumber kehidupan nelayan kini tercemar limbah, dan ruang hidup mereka kian terhimpit.
“Saya dan teman-teman dilaporkan ke polisi hanya karena memblokade jalan demi memperjuangkan hak kami,” tambahnya.