Lingkungan

Sulawesi, Lumbung Nikel atau Lumbung Polusi?




Sulawesi Tanpa Polusi terdiri dari perwakilan kelompok masyarakat terdampak dan CSO menyerahkan kertas kebijakan dan kepada Kementerian ESDM dan Perindustrian (21/5/2025). Koalisi melaporkan secara langsung masalah yang terjadi di lapangan Kementerian ESDM dan Kemneterian Perindustrian. Foto: WALHI

Di Konawe, Sulawesi Tenggara, cerita serupa bergema. Gian Purnamasari dari WALHI Sulawesi Tenggara menyebutkan bahwa PLTU berbasis batubara di wilayah ini menjadi sumber utama polusi. 

Desa Tani Indah, yang berdekatan dengan perusahaan raksasa seperti VDNI, kini dikepung oleh smelter dan PLTU. Warga mulai mengeluhkan gangguan pernapasan, dan sektor tambak yang dulu menopang ekonomi kini merugi karena limbah fly ash dan bottom ash mencemari perairan. 

“Dulu warga bisa panen hingga 50 juta rupiah, sekarang gagal total,” ucap Gian.

Tak hanya soal ekonomi, debu batubara telah merambah hingga ke ruang-ruang paling intim di rumah warga. 

“Di Morosi, ibu-ibu harus membersihkan lemari makan dua kali sehari karena debu masuk terus-menerus,” kata Gian. 

Anak-anak menjadi kelompok paling rentan. Mereka yang menghirup udara tercemar setiap hari berisiko mengalami gangguan pada pertumbuhan organ vital. WALHI bahkan menemukan kandungan kadmium dan timbal di sungai sekitar kawasan industri, melebihi baku mutu lingkungan. Konsumsi ikan dari sungai ini bisa berujung pada kanker dan kematian dini.

Selain berdampak pada kesehatan, perempuan juga menjadi korban dari tekanan sosial dan ekonomi akibat ekspansi industri ekstraktif. Gian menyebut pekerja perempuan di kawasan tambang sangat rentan terhadap eksploitasi, yang tidak hanya menyalahi aturan ketenagakerjaan tetapi juga melanggar hak asasi manusia. 

“Ini jelas bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat,” tegasnya.

Sementara itu, suara dari Sulawesi Selatan tidak kalah menggema. Meski dalam laporan Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi, wilayah ini disebut belum mengalami ledakan smelter sebesar dua provinsi lainnya, tetapi aktivitas pertambangan dan PLTU tetap menimbulkan dampak serius bagi komunitas pesisir dan petani lokal.

Pencemaran udara dan air, serta potensi konflik lahan mulai menjadi perhatian warga dan aktivis lingkungan di sana. Mereka mewaspadai pola yang sama yang telah merusak Morowali dan Konawe akan menjalar ke wilayah mereka.

Koalisi pun mengeluarkan serangkaian tuntutan kepada Presiden Prabowo Subianto, mulai dari penghentian pembangunan PLTU captive, peninjauan ulang status Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk proyek hilirisasi nikel, hingga perlindungan terhadap wilayah kelola rakyat, hutan adat, dan kawasan lindung dari ekspansi tambang.

Mereka juga menekankan pentingnya menghentikan kriminalisasi terhadap pembela lingkungan dan menuntut keterlibatan komunitas adat dalam setiap keputusan yang menyangkut tanah dan sumber daya mereka.

Kepada Pemerintah Tiongkok dan perusahaan-perusahaan asal negara tersebut, koalisi meminta agar komitmen lingkungan yang pernah diumumkan oleh Presiden Xi Jinping ditegakkan. Mereka mendesak moratorium pembangunan PLTU captive di Indonesia, menghentikan pendanaan proyek yang merusak, serta membuka ruang dialog yang setara dengan masyarakat terdampak.

Di tengah gegap gempita hilirisasi dan ambisi transisi energi yang dicanangkan negara, suara masyarakat Sulawesi seolah terbenam di balik kabut asap smelter dan debu tambang. 

“Kami tak menolak pembangunan, tapi bukan pembangunan yang merampas kehidupan. Krisis yang kini melanda Sulawesi bukan sekadar soal lingkungan, tetapi tentang keberlangsungan hidup manusia dan keadilan sosial. Jika tak segera dihentikan, lumbung nikel ini bisa berubah menjadi kuburan bagi masa depan masyarakat dan ekosistem pulau yang selama ini menyuplai logam hijau untuk dunia,” tegas Amin.

*Penulis adalah jurnalis lingkungan. Di sela-sela aktivitas sebagai mahasiswa program doktoral Universitas Hasanuddin, beliau aktif menulis di Mongabay.