News
Travel

Tembok Berlin: Tragedi dan Harapan Kebebasan




Selain itu, biaya hidup Berlin meroket. Kota yang dulu terkenal “murah tapi keren” kini makin mahal, menyulitkan warganya. Fenomena ini bukan hanya di Berlin, tetapi juga di banyak kota dunia.

Pelajaran dari Berlin jelas: kebebasan saja tidak cukup. Kita memerlukan kebijakan inklusif, peran negara yang adil, dan solidaritas komunitas. Kebebasan harus membawa makna bahwa semua orang setara, bebas, namun tetap menjadi bagian dari sebuah komunitas besar yang tumbuh bersama.

Hanya dengan itu, tembok benar-benar runtuh—tanpa sekat, tanpa diskriminasi, tanpa tembok.

Pelajaran untuk Indonesia

Berlin mengajarkan bahwa tembok, sekuat apa pun, pada akhirnya akan runtuh ketika berhadapan dengan hasrat rakyat akan kebebasan. Namun, ia juga memberi peringatan bahwa setelah tembok fisik runtuh, tantangan baru segera muncul: ketimpangan sosial, segregasi ekonomi, dan gesekan identitas.

Indonesia juga pernah mengalami “tembok-tembok” dalam bentuk lain: sekat politik, ekonomi, maupun sosial. Reformasi 1998 meruntuhkan tembok otoritarianisme, tetapi kita masih bergulat dengan “tembok” baru berupa oligarki, ketimpangan, dan intoleransi.




Pelajaran dari Berlin jelas: kebebasan harus diiringi dengan inklusi, solidaritas, dan kebijakan yang adil. Jika tidak, kita hanya mengganti satu tembok dengan tembok lain yang tak kalah menyesakkan.

Indonesia memerlukan keberanian untuk terus meruntuhkan sekat-sekat yang memisahkan warganya—baik karena kelas, agama, etnis, maupun kepentingan politik.

Seperti Berlin, kita pun bisa membuktikan bahwa mimpi tentang kebebasan, keadilan, dan kebersamaan mampu mengubah arah sejarah bangsa.(*)

*Eka Sastra adalah Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Ilmu Ekonomi Universitas Hasanuddin