Kesehatan
News

Tips agar Hati Tetap Sehat, Waspada dengan Perlemakan Hati Non-alkoholik

UNHAS.TV - Di ruang beraroma antiseptik di lantai dua Rumah Sakit Siloam Makassar, seorang perempuan paruh baya duduk sambil menatap hasil laboratorium di tangannya. "SGPT dan SGOT saya naik lagi," keluhnya pelan.

Di hadapannya, Dr dr Rini R Bachtiar SpPD-KGEH, MARS, FINASIM, hanya mengangguk pelan. Ia sudah sering melihat gejala ini, kelalaian kecil terhadap pola hidup bisa berakhir pada kerusakan organ vital bernama hati.

Hati—bukan sekadar simbol cinta dalam puisi—merupakan organ terbesar dalam tubuh manusia setelah kulit.

Ia bertugas sebagai pabrik metabolisme, pusat detoksifikasi, serta pengatur kadar gula dan lemak dalam darah. Namun ironisnya, banyak orang mengabaikan kesehatannya, hingga penyakit datang diam-diam.

“Hati rusak itu prosesnya perlahan tapi pasti,” jelas dokter Rini, yang juga menjabat sebagai Sekretaris Divisi Gastroenterologi-Hepatologi Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

Menurut penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Hepatology (2023), lebih dari 1,5 miliar orang di dunia menderita penyakit hati, mulai dari steatosis (fatty liver), hepatitis, hingga sirosis.

Penyebab utamanya? Gaya hidup modern: konsumsi alkohol berlebihan, obesitas, hingga infeksi virus hepatitis yang tak terdeteksi.

Dokter Rini saat ditemui di Poli Executive, RS Siloam Makassar, awal tahun 2025, menjelaskan, hati bisa rusak oleh tiga faktor utama; alkohol, akumulasi lemak, dan virus hepatitis.

“Virus hepatitis B dan C adalah yang paling berbahaya karena sifatnya kronik. Banyak pasien tidak tahu mereka membawa virus ini karena sering tidak bergejala,” ujarnya.

Virus hepatitis C, misalnya, bisa bertahan selama puluhan tahun dalam tubuh tanpa menimbulkan gejala, sebelum akhirnya memicu sirosis atau kanker hati.

Dalam laporan World Health Organization (2022), diperkirakan 296 juta orang hidup dengan hepatitis B dan sekitar 58 juta orang dengan hepatitis C.

Ironisnya, hanya sebagian kecil yang mendapatkan pengobatan. Di Indonesia sendiri, angka penderita hepatitis tergolong tinggi, dan kampanye skrining masih belum maksimal.

Epidemi Baru Perlemakan Hati Non-alkoholik

>> Baca Selanjutnya