oleh: Yusran Darmawan*
Di suatu sore yang dipayungi mendung, nama itu kembali muncul: Nadiem Makarim. Anak muda yang dulu dielu-elukan sebagai lambang keberanian generasi baru, kini disebut dalam berita dengan satu kata yang mengubah segalanya: tersangka.
Berita itu terdengar seperti petir di siang bolong. Sebab Nadiem bukan orang sembarangan. Ia tumbuh dari keluarga terpelajar, dari lingkaran orang-orang yang menulis kisah panjang intelektual Indonesia.
Dalam disertasi berjudul Indonesia's New Order, 1966-1998: Its Social and Intellectual Origins yang ditulis Sony Karsono di Ohio University tahun 2013, tercatat silsilah keluarga yang membentuk sosoknya.
Kakeknya, Anwar Makarim, adalah seorang notaris yang menanamkan disiplin kerja keras pada anak-anaknya. Neneknya adalah cucu dari Awab Soengkar Aloermei, pendiri perusahaan tekstil terbesar di Solo dan kawan dekat Pakubuwana X, penguasa tradisional Surakarta.
Dari garis ayah, intelektualitas dan kritik sosial menetes deras: Nono Anwar Makarim, ayah Nadiem, adalah sosok yang dikenal sebagai salah seorang intelektual paling cerdas di zamannya.
Bersama Ismid Hadad dan Dawam Rahardjo, Nono membentuk lingkaran pemikir yang berani mengajukan wacana kritis terhadap pembangunan ala Orde Baru.
Lingkaran keluarga itu penuh dengan pencapaian akademik. Nono adalah alumni Harvard. Ibunya, Atika Algadri, lulusan magister dari Harvard, pernah bekerja sebagai reporter di harian KAMI bersama Widarti, yang kelak menjadi istri Goenawan Mohamad.
Kakaknya, Rayya Makarim, menulis skenario film dan berulang kali memperoleh penghargaan, setelah menuntaskan pendidikan magister di University of London. Adiknya, Hana Makarim, menyelesaikan magister di Yale University pada 1987 dan kini bekerja di BKPM.
Bahkan paman dan bibinya pun bukan orang sembarangan. Chaidir Anwar Makarim adalah profesor geologi di Universitas Tarumanagara. Mayjen (Purn) Zacky Anwar Makarim, perwira tinggi militer, pernah menjabat Kepala Badan Intelijen ABRI.
Dr. Irma Anwar Makarim mengabdikan dirinya sebagai pengajar di UI. Nadiem lahir dari lingkungan di mana prestasi, ilmu, dan kerja keras adalah napas sehari-hari.
Dengan latar belakang itu, tak heran bila ketika ia mendirikan Gojek, publik melihatnya sebagai representasi keberanian generasi baru. Harvard, Gojek, decacorn, dan jutaan pengemudi yang menemukan martabatnya lewat sebuah aplikasi.
Nadiem seperti hendak membuktikan: di negeri ini, seorang anak muda bisa melahirkan perubahan. Bahwa sejarah tidak selalu ditulis oleh mereka yang berumur panjang dan berkuasa lama, tetapi juga oleh energi baru yang datang dari generasi digital.
Ketika ia dipanggil ke pemerintahan pada 2019, publik menyambutnya seperti menyambut fajar. Seorang pendiri start-up yang menduduki kursi menteri, pemandangan yang tak lazim.
Harapan pun tumbuh: jika ia bisa mengguncang dunia transportasi dengan algoritma, mungkinkah ia juga bisa mengguncang dunia pendidikan dengan imajinasi yang sama?
Tapi kekuasaan negara bukanlah start-up. Ia bukan perusahaan rintisan yang bisa dibongkar-pasang dengan cepat, di mana kegagalan bisa segera diganti dengan model bisnis baru, di mana eksperimen adalah bagian dari jalan menuju sukses.
Negara tak pernah mengenal istilah pivot yang ringan, sebagaimana Start-Up yang mudah mengubah arah. Negara membawa beban sejarah, membawa ingatan jutaan orang, membawa luka yang diwariskan dari masa lalu.